TKI: Religiusitas, Solidaritas dan Egoisme.
#peradabanTKI
#opiniRazmi
Sementara ini saya sudah berkunjung di 3 kota; Kimpo, Yongin dan
terakhir adalah Ansan sebagai masjid permanen yg saya singgahi. Di 3 kota itu
ada sebuah problem yang dirasakan oleh kebanyakan jamaah masjid, ya hanya
mereka, karena yang 'tdk mambu masjid’ tdk akan mempermasalahkannya. Masalah
itu berkisar pada sulitnya mencari waktu ideal untuk ibadah wajib, misal shalat
5 waktu, jumat dan shalat idul fitri dan idul adha.
Untuk shalat dhuhur dan asar banyak dari teman kita yang dijama’, kalau
sesekali mungkin masih wajar karena illah jama’ adalah halangan syar’i. Tapi
kalau selama 5 tahun dhuhur dan asar dijama’ terus, bagi seorang muslim taat,
hal tersebut sangat mengganjal di hati. Belum lagi shalat Jum'at, sesekali
mungkin memakai rukhshah jauhnya dari masjid jami’, atau mungkin tdk
ditemukannya jama'ah, tapi bila hal itu terjadi dalam kurun waktu bertahun2,
hati mereka juga tersayat, hal itu diakui sendiri oleh mereka. Memang ada beberapa
teman kita yang mencoba untuk izin dan ada beberapa yang mensiasati dengan
bergantian shalat 5 waktu dll. Beberapa bos mengizinkan tapi beberapanya tidak.
Intinya kita masih kesulitan untuk melakukan kewajiban2 dalam beragama.
Suatu ketika problem di atas pernah saya sampaikan ke seorang senior di
Korsel, sebut saja namanya Hadi (ya emang namanya itu 🤣),
beliau mengambil doktoral teknik di salah satu universitas di Korsel. Beliau
sudah lama di sini, dan sekarang sudah bekerja di salah satu perusahaan Korsel
dengan visa E7. Kepada beliau saya menanyakan apakah pihak Atnaker KBRI sudah
pernah melobi ke Depnaker Korsel untuk memberi hak beragama secara penuh kepada
pekerja muslim di perusahaan mereka. Lobi tersebut penting karena semua TKI yang
terhubung dengan pabrik maka pasti terhubung dengan Depnaker Korsel. Semua
penyaluran atau penempatan TKI kita di semua pabrik Korsel pasti melalui
mediasi Depnaker. Artinya, posisi Depnaker di sini sangat superior di hadapan
pabrik dan perusahaan yang memperkerjakan TKI2 kita. Bila intruksi untuk
'memberikan hak beribadah bagi pekerja muslim’ tersebut menjadi aturan baku
dari Depnaker maka bos2 pabrik atau perusahaan harus mentaatinya.
Menurut Aa Hadi hal itu pernah dicoba oleh Atnaker KBRI tapi sejauh mana
lobi tersebut berjalan beliau tidak tahu. Dan beliau justru membuat challange
kepada para TKI agar tuntutan untuk beribadah tersebut
datang/distimulus/dihangatkan dulu dari bawah, sisten bottom up. Baru kemudian
break down dari atas.
Kenapa tuntutan itu harus diawali dari bawah atau dengan 'demonstrasi
para pekerja’ , tidak langsung lobi Atnaker KBRI dgn Depnaker Korsel? Korsel
adalah negara dgn mayoritas penduduk ateis, agama dengan segenap ritualnya
bukanlah hal yang prioritas. Kristen sebagai agama terbangak kedua saja masih
'kalah’ dengan atmosfer ateisme, apalagi Islam dan muslim sebagai pendatang dan
sekaligus sebagai kaum buruh. Shalat, jumat, ied dan ritual keagamaan Islam
belum menjadi common sense orang Korea, terlebih para stakeholder di pabrik dan
perusahaan. Untuk memunculkan common sense tersebut, gampangnya cari perhatian,
maka temen2 pekerja harusnya yang menghangatkan lingkup grass root dengan
mendemonstrasikan secara massif tingkat kebutuhan mereka untuk beribadah. Baru
setelah itu aturan tentang waktu ibadah tersebut bisa dikuatkan dan
ditindaklanjuti dengan lobi resmi pemerintahan.
Namun, rekayasa seperti di atas masih mendapatkan ganjalan yang justru
datangnya dari para pekerja sendiri. Dari puluhan ribu pekerja yang taat
beragama, sadar untuk menjalankan kewajiban sebagai muslim berapa orang, berapa
persen? Bahkan kisah tentang mantan santri bukan hanya satu dan dua cerita.
Dulu pernah nyantri tapi kemudian tidak shalat sama sekali, mendem, karaokenan
dll. Bila prosentase yang tidak taat beragama lebih banyak, maka tentu yang
rugi justru teman2 yang dengan tulus ingin mendirikan shalat dan mengerjakan
puasa. Para stakeholder Korea (bos dan mandor) akan melihat bahwa ritual
keagamaan dalam Islam tidak penting2 amat kok, jadi ngapain repot2 memberi
30-60 menit untuk shalat, jumaatan dan keringanan jam kerja saat puasa.
Buktinya lebih banyak yang tidak mengerjakan daripada yang mengerjakan. Dan
wajar bila mereka khawatir bila 30-60 menit itu diberikan justru dijadikan
sebagai waktu bolos dari kerja, bagi ateis waktu adalah uang.
Saya menjadi maklum bahwa melahirkan tingkat kesadaran beragama secara
massif seperti gambaran di atas sangat berat. Jangankan tema seperti
solidaritas dalam beragama, solidaritas sesama pekerja Indonesia dalam satu
pabrik tentang nasib dan penderitaan saja masih perlu dibulatkan. Ada seorang
TKI yang mendapat perlakuan buruk dari mandor (disampluk, dijotos, ditekak dan
digajul, dilakukan secara bertubi) karena hal yang sangat sepele. Kondisi
seperti itu dilihat oleh teman lainnya di pabrik tersebut. Tapi semua mata yang
menyaksikan kejadian tersebut tidak semua siap untuk menjadi saksi bila
kejadian tersebut dibawa ke meja hijau. Sehingga si korban lebih memilih pindah
pabrik daripada mengusut kasus pidana yang ia terima.
Tentu kita tidak ingin mentok di level pesimis walaupun kondisinya
seperti di atas. Perlu wacana2 segar untuk mengusahakan agar teman2 kita yang
taat beragama khususnya, agar tidak nawaitu njama’ solat sak lawase ✌️. Bila para bos dan mandor khawatir waktu ibadah itu digunakan
untuk bolos bagi para pekerja, maka tandai dan berikan waktu ibadah tersebut
khusus bagi pekerja2 yang memang menggunakannya untuk beribadah.
Tentang siapa yang taat dan tidak taat beribadah, hal itu bisa dinilai
dari keseharian mereka di pabrik. Dan ini mungkin dan sudah terjadi, beberapa
teman kita mendapatkan izin dari bos untuk shalat dan jumatan karena mereka
rutin melakukannya, menjaga makanan dari yang haram dll, semua itu masuk dalam
pantauan mandor atau bos pabrik. Sedangkan pekerja Indonesia yang tidak
terlihat rutin ibadah, sering makan babi/haram, minum khamar maka si bos tidak
memberi izin. Fenomena bos/mandor pabrik seperti di atas memang ada tapi tidak
banyak.
Akhirnya, tinggal seberapa jauh NIAT kita (Atnaker KBRI) untuk berusaha
memberi hak beribadah para Pahlawan Devisa kita. Dan tentu, TEKNIS dan caranya
bagaimana. Semoga Allah menjaga TKI kita dari godaan 😈
yg terkutuk.
PERADABAN TKI (1)
(Historical View)
Dalam sejarah Islam kita mengenal Dinasti Mamluk/Mamalik. Mamluk
secara bahasa adalah budak. Mereka adalah orang-orang ‘ajam (non arab) berasal
dari Kaukasus dan Laut Kaspia yang direkrut menjadi prajurit, asisten rumah
tangga dan para pekerja. Mereka merupakan rekrutmen dinasti Ayyubiyah.
Beberapa prestasi sekaligus prasasti yang ditorehkan oleh
Mamalik, khususnya di bidang militer, adalah kegagahan benteng Qaitbay yang
terletak di pantai Alexandria (Laut Mediterania/Laut Tengah/ al-Bahrul Abyadh al-Mutawasith).
Benteng itulah yang menghalau pasukan Tatar saat merengsek ke jazirah Arab
(benua Afrika Utara), di waktu yang sama jazirah Arab bagian Syam porak-poranda
karena ulah pasukan Mongol tersebut. Ibnu Taimiyah menjadi saksi hidup
hancurnya Homs dan kota-kota lain di bumi Syam. Bahkan beliau mencatat
keganasan fighting orang-orang mongol, dimana satu prajurit Mongol melibas
puluhan prajurit muslim. Mungkin kita bisa membayangkan Doni Yen, Jet Li dan
Jackie Chan kala beraksi J.
Kisah Mamalik di atas bisa kita jadikan gambaran bagaimana
kemulian Islam bisa menjadi power dan kebangkitan bagi kasta rendah seperti Mamalik.
Maka benar bahwa la fadhla li arabiyyin ala a’jamiyyin illa bit taqwa. Takwa
adalah infinity stone yang menjadikan siapapun yang bisa menguasainya maka ia
bisa menguasai dunia. Salam Avengers :P.
Kemudian mari kita melihat sejarah tentang masuknya agama
Islam ke Indonesia. Ada yang mengatakan teori pedagang Gujarat. Dalam teori
tersebut dikatakan bahwa para pedagang Gujarat lah yang membawa ajaran Islam ke
pesisir-pesisir pantai di tanah Jawa, dipilih pantai karena moda transportasi
lintas benua kala itu adalah kapal. Maka, bisa dibilang daerah yang menjadi
pusat keramaian adalah daerah-daerah dengan pantai yang menjadi pusat
perdagangan internasional.
Teori lainnya ada yang menyebutkan Islam dibawa oleh rombongan pasukan laksamana Cheng Ho dari China. Teori lainnya mengatakan Islam dibawa langsung oleh pelayar Arab era Utsman bin Affan ra. Teori Islam Arab ini dikuatkan oleh diadakannya armada atau angkatan laut sejak Khalifah Utsman bin Affan, beliau mengakomodir ide Muawiyah bin Abi Sufyan yang ketika itu masih mentah di era Khalifah Umar bin Khathab. Salah satu keunikan kedua khalifah tadi adalah cara pandang ‘penempatan’ sahabat di teroterial Makkah-Madinah dan luar teritorial.
Maka agama Islam ini, dibawa oleh siapa, kemana saja ia bisa
dibawa, bagaimana membawanya, dan pertanyaan-pertanyaan lain sebagainya bisa
kita tadaburi melalui sejarah Islam seperti di atas.
Islam bisa mengangkat derajat individu seorang budak misal Bilal bin Rabah, maka Islam sangat mampu membalikan derajat komunitas budak/prajurit belian menjadi orang-orang yang dimuliakan. Orang-orang Mamalik berubah menjadi raja, panglima, qadhi, cendekiawan lantaran nilai-nilai agama Islam. Para pedagang, pelancong, musafir dan lain sebagainya juga kompatibel (sekaligus harus kapabel) untuk mengenalkan Islam di belahan dunia lain. Khususnya di era sekarang, saat Islam menjadi objek bullying internasional.
Teman-teman kita yang berprediket sebagai Pahlwan Devisa,
TKI yang di Korsel, tentu sangat layak mendapat maqam yang sama dengan Mamalik,
atau bahkan lebih. TKI kita di Korsel, walaupun mereka rata-rata tamatan SMA
sederajat, tapi sebelum ke negara gingseng ini mereka sudah dibekali dengan
bahasa korea dan skill terapan tertentu. Bahkan di Indonesia di antara mereka
juga pernah nyantri di pondok-pondok tradisional, sebagiannya malah ada yang
pondok modern. Ini bila kita berbicara tentang TKI dengan visa E-9. Para pekerja
di pabrik-pabrik umum, bukan samsung, Lotte, LG atau pabrik-pabrik papan atas.
Selain TKI dengan spesifikasi di atas ada juga TKI dengan
grade yang lebih, mereka bekerja di pabrikan ternama dan mempunyai jabatan
strategis. Lebih dari itu ada juga mahasiswa-mahasiswa yang melanjutkan studi
mereka di Korsel, misal Hubungan Internasional.
Secara karakteristik dan budaya kedisiplinan Korsel juga
mendukung untuk menjadikan TKA sebagai manusia merdeka seutuhnya. Pada bab
tersendiri, kita harus berkaca tentang Korsel yang meladeni para TKA-nya dengan
lebih baik ketimbang negara-negara timur tengah. Hal ini mempunyai efek positif
dan signifikan untuk membentuk pribadi dan etos kerja unggulan bagi TKA. NOTED.
Secara kemampuan finansial jangan tanya. Dengan UMR saja, setelah dikurangi biaya kehidupan, mereka masih bisa save uang 10 juta perbulan. Kesimpulan sementara saya, setelah urusan kerja dan keuangan beres, mereka bisa dibentuk untuk menjadi the new some one or something.
Dan tentu, dengan berkaca pada kisah masuknya Islam ke
Nusantara, maka kita tidak perlu underestimate kepada teman-teman TKI kita. Bila
Islam tersebut bisa dibawa para pedagang, saudagar, pekerja, prajurit dan lain
sebagainya, maka tidak menutup kemungkinan negara dengan mayoritas
Ateis-Kristen-Budha tersebut bisa mengenal cahaya Islam.
#razmi-konsep
#peradabanTKI
#tkiKorsel
Kebebasan; Dari Apa dan Bagaimana?
Darah muda identik dengan letupan-letupan emosional,
agresifitas dalam bertindak dan ada kalanya disertai kisah romansa yang
membubuinya. Menjadi pemuda biasanya diawali dengan masa-masa pubertas (puberty),
dalam dunia psikologi, pubertas merupakan masa peralihan dari anak-anak
yang, biasanya dibatasi oleh aturan-aturan tertentu oleh orang tua, menuju awal
kedewasaan, dimana masa itu adalah masa ‘bebasnya’ seseorang dari aturan-aturan
rigid orang tua. Oleh karena itu tidak heran bila masa pubertas seorang pemuda
merupakan masa-masa yang labil dan cenderung berambisi dengan kebebasan.
# Sejak kapan
kalian memperbudak manusia, padahal ibu mereka melahirkannya dengan merdeka?
(Umar ibnu Khathab)
Sobat muda Smarteen sekalian, sebenarnya tidak ada salahnya
bila kita terobsesi kepada kebebasan, karena Umar al-Faruq sendiri menyatakan
bahwa kita dilahirkan oleh ibu kita dengan kebebasan dan oleh karenanya kita
dilarang ‘memperbudak’, menjajah atau memekasakan kesenangan pribadi kita terhadap
orang lain. Akan tetapi, yang perlu kita perhatikan adalah hakikat kebebasan
itu sendiri. Dari apakah kita ingin membebaskan diri? Bagaimanakah cara kita
mengekspresikan kebebasan kita?
Kebebasan manusia bila diartikan dengan sama sekali tidak
terikat dengan apapun, maka tidak ada bedanya antara manusia dengan hewan. Keterikatan
mendasar dari kebebasan manusia paling tidak tercermin dalam keterikatan antara
‘abid (penyembah) dengan ma’bud (yang disembah), makhluk (yang diciptakan)
dengan khaliq (sang pencipta), antara manusia dengan Tuhannya. Dimana manusia
mukallaf dengan syari’at dan hudud (batasan) dari Allah swt. Seperti
pemenuhan kewajiban kita atas rukun iman dan rukun Islam, taat kepada orang
tua, menolong sesama maupun nilai-nilai luhur keagamaan dan kemasyrakatan kita.
# Kebebasan seseorang itu dibatasi oleh kebebasan orang
lain
Sobat Smarteen yang dirahmati Allah, setelah menunaikan
hak-hak kita sebagai hamba Allah maka saat itulah kita bisa berteriak dengan
lantang ‘Yes I’m Free’. Bebas untuk memilih cita-cita kita, bebas untuk
menentukan langkah hidup kita, hobi, pekerjaan maupun aktivitas lainnya. Akan
tetapi, perlu diingat bahwa kita bukanlah satu-satunya nyawa di planet bumi
ini, ada milyaran manusia dan makhluk lain yang berada di planet ketiga dari
tata surya kita, sehingga kita harus memperhatikan bagaimana kita
mengekspresikan kebebasan kita. Kita bebas membeli motor apa saja sesuai dengan
budget kita, tapi suara knalpot motor tersebut jangan sampai memekakkan telinga
orang lain, kita boleh memilih tempat kongkow dimana saja, tapi pastikan bahwa
orang lain juga nyaman berada di sekeliling kita.
Boleh Berbaur, Tapi Jangan Melebur
Manusia diciptakan dengan fitrah untuk bersosial, al
insanu madaniyyun bi thab’i. Sejak kecil saja kita sudah terbiasa dengan
aktivitas bersama dengan teman, sebut saja mbolang atau dolan,
permainan gobaksodor, dan lain sebagainya. Ketika beranjak dewasa, pemuda tentu
tidak bisa dipisahkan dari dunia sosialita. Periode remaja (daurul
murahaqah) merupakan ajang untuk bersosialisasi dan berinteraksi dengan dunia
baru yang lebih luas, tapi juga lebih kompleks dari dunia anak dahulu.
Berbaur dengan orang lain tentu tidak hanya sekedar memburu
predikat sosialita, gaul, atau kece semata. Tidak juga sekedar menghindari bullying
teman, biar tidak dikatain gaptek, kuper, ndeso atau ungkapan diskrimintif
lainnya. Berteman tidak sekedar ketemu sembarang orang kemudian mengikuti semua
perilaku dan perkataan. Kalau Humood elKhudher bilang, ataqabbaluhum, annasu
lastu uqalliduhum..., aku memang menemui banyak orang, tapi tidak lantas
taklid buta atau membebek kepada mereka. Berinteraksi dengan orang lain harus
mempunyai misi tertentu, entah mendapat input yang baik, atau sekaligus output berbagi
kebaikan kita kepada orang lain.
اَÙ„ْÙ…ُؤْÙ…ِÙ†ُ اَÙ„َّذِÙŠ
ÙŠُØ®َالِØ·ُ اَلنَّاسَ, ÙˆَÙŠَصْبِرُ عَÙ„َÙ‰ Ø£َذَاهُÙ…ْ Ø®َÙŠْرٌ Ù…ِÙ†ْ اَÙ„َّذِÙŠ Ù„َا ÙŠُØ®َالِØ·ُ
اَلنَّاسَ ÙˆَÙ„َا ÙŠَصْبِرُ عَÙ„َÙ‰ Ø£َذَاهُÙ…ْ " Ø£َØ®ْرَجَÙ‡ُ اِبْÙ†ُ Ù…َاجَÙ‡ْ
Seorang mukmin yang berinteraksi dengan orang lain, dan sabar dengan
masalah yang ditemuinya, itu lebih baik dari seorang mukmin yang tidak
berinteraksi dengan orang lain dan tidak sabar dengan masalah yang ditemuinya. (HR. Ibnu Majah)
Dari hadits di atas, Rasulullah pun memberi ruang bagi kita untuk
mengenal orang lain, bergabung dengan masyarakat, berinteraksi dengan tetangga,
bertemu dengan teman dan lain sebagainya. Sekalipun memang setiap kita
bermuamalah dengan orang lain pasti kita akan menemukan permasalahan dan
kendala. Bila yang kita temukan adalah sesuatu yang bertolak belakang dengan
prinsip kita, jangan takut untuk mengatakan tidak. Tapi bila yang kita temukan
adalah kebaikan bagi kita, maka janganlah enggan untuk mengikutinya.
Si Shalih dan Si Mushlih
Si Shalih ini khusyuk
di masjid memutar biji-biji tasbih, tapi ada juga Si Shalih yang berdzikir
memakai ruas-ruas jari tangan, melafalkan nama-nama terbaik Allah, sambil
berdzikir. Setelah itu dilanjutkan dengan tilawah al-Qur`an puluhan halaman.
Setelah tilawah dilanjutkan dengan shalat dan sebagainya. Di sisi lain, ada Si
Mushlih yang juga memutar biji tasbih untuk berdzikir, dilanjutkan dengan
tilawah yang hanya belasan halaman saja. Setelah shalat, Si Mushlih tidak hanya
berdiam diri di masjid, tapi dia keluar masjid menuju gang samping rumahnya
karena ada kerja bakti. Saat kerja bakti Si Mushlih ngobrol-ngobrol dengan
tetangganya, sesekali memberi lelucon edukatif dan kadang satire (nyindir).
Sesekali dia berceloteh kepada tetangganya yang minum kopi panas pakai tangan
kiri, “Pakdhe, itu minum pakai tangan kiri biar setannya kapok kepanasan ya...
Hahahaha...”.
Si Shalih ini kalau
dibahasakan di fakultas biologi kata mbak saya diistilahkan dengan Si Steril.
Kalau Si Mushlih diistilahkan dengan Si Imun. Beda steril dan imun itu apa?
Steril itu kondisi di mana organ tubuh kita bersih dari kuman. Kalau mun
kondisi organ tubuh yang selain bersih, tapi mampu mengeluarkan antibody bila
ada kuman yang menyerang. Simpelnya, steril itu sekedar bersih dari kuman, tapi
kalau imun selain bersih dari kuman ia mampu untuk membasmi kuman.
Dalam beragama atau
bermasyarakat, dua tipe di atas biasanya mewarnai pola kehidupan kita. Ada yang
mencukupkan diri untuk menjadi seorang yang shalih bagi individunya, tapi ada
juga orang mushlih yang mencoba berkontribusi memberikan ishlah untuk
lingkungannya. Bahwa menjadi individu yang shalih itu sebuah kebaikan, militan
dalam beribadah, totalitas dalam bersyariah dll. Tetapi kebaikan itu tidak dibatasi
pada masjid dan rumah pribadi saja, kebaikan juga harus didakwahkan,
direkayasa, diprogram dan dikampanyekan kepada orang lain.
Harusnya kita tidak
memisahkan atau mengkonfrontasikan antara orang yang ingin memperbaiki diri
sendiri dan orang yang ingin kebaikan bagi diri sendiri dan orang lain. Justru
dua sikap baik ini harus diakomodir dan disinkronkan.
Salah TV atau Salah
Kita?
Beberapa waktu yang
lalu ada obrolan tentang TV. Saya mulai dengan statemen bahwa TV mempunyai
andil dalam mewarnai nilai sosial kita; gaya hidup berpakaian, berbahasa,
belahan rambut dll. Dan diantara efek yang diberikan TV, sampai saat ini saya
nilai masih dominan dengan konten negatif. Ada seorang teman yang mengomentari
bahwa ungkapan di atas hanya mengkambinghitamkan tv, padahal yang salah adalah
kita. Kalau tidak suka dengan tv ya tidak usah ditonton saja. Bahwa tidak usah
melihat TV itu adalah hak masing-masing individu, saya juga bukan maniak
televisi. Kalau dikonversikan mungkin saya melihat televisi 0-2 jam sehari.
Lebih seringnya 0 jam.
Tapi bila berbicara
tentang tema-tema sosial, tentu kurang bijak bila berhenti pada level ‘saya ga
nonton tv kok’ atau ‘jangan nonton tv’, level individu. Bersosial adalah
bagaimana kita juga punya andil dalam merekayasa konsumsi-konsumsi masyarakat
kita. Bahwa kita tidak nonton konten negatif di televisi itu baik, tapi
kebaikan tidak hanya berhenti sampai di situ. Termasuk kebaikan adalah
bagaimana kita juga berusaha berkontribusi agar konten televisi di negara kita
juga baik. Kita ingin mengapresiasi bagaiman ternyata sutradara-sutradara
tertentu juga ‘berkelahi’ dengan bos-bos entertaiment, mereka berjuang agar
film positiv ini tetap diputar di bioskop, mendapat rating dan akhirnya bisa
memberi warna cerah bagi masyarakat kita.
Kita juga salut
bagaimana kesadaran sosial di masyarakat kita membuat kesepakatan bersama agar
pukul 18.00-20.00 untuk ibadah dan belajar. Lebih dari itu, kita juga bangga
beberapa pihak sudah memulai chanel-chanel edukatif dan keagamaan, sehingga
dunia pertelevisian kita tidak lagi didominasi dengan gosip, sinetron pacaran,
perkelahian atau gaya hidup hedonisme.