- Back to Home »
- Sosial »
- Si Shalih dan Si Mushlih
Posted by : Alamin Rayyiis
Rabu, 24 Agustus 2016
Si Shalih ini khusyuk
di masjid memutar biji-biji tasbih, tapi ada juga Si Shalih yang berdzikir
memakai ruas-ruas jari tangan, melafalkan nama-nama terbaik Allah, sambil
berdzikir. Setelah itu dilanjutkan dengan tilawah al-Qur`an puluhan halaman.
Setelah tilawah dilanjutkan dengan shalat dan sebagainya. Di sisi lain, ada Si
Mushlih yang juga memutar biji tasbih untuk berdzikir, dilanjutkan dengan
tilawah yang hanya belasan halaman saja. Setelah shalat, Si Mushlih tidak hanya
berdiam diri di masjid, tapi dia keluar masjid menuju gang samping rumahnya
karena ada kerja bakti. Saat kerja bakti Si Mushlih ngobrol-ngobrol dengan
tetangganya, sesekali memberi lelucon edukatif dan kadang satire (nyindir).
Sesekali dia berceloteh kepada tetangganya yang minum kopi panas pakai tangan
kiri, “Pakdhe, itu minum pakai tangan kiri biar setannya kapok kepanasan ya...
Hahahaha...”.
Si Shalih ini kalau
dibahasakan di fakultas biologi kata mbak saya diistilahkan dengan Si Steril.
Kalau Si Mushlih diistilahkan dengan Si Imun. Beda steril dan imun itu apa?
Steril itu kondisi di mana organ tubuh kita bersih dari kuman. Kalau mun
kondisi organ tubuh yang selain bersih, tapi mampu mengeluarkan antibody bila
ada kuman yang menyerang. Simpelnya, steril itu sekedar bersih dari kuman, tapi
kalau imun selain bersih dari kuman ia mampu untuk membasmi kuman.
Dalam beragama atau
bermasyarakat, dua tipe di atas biasanya mewarnai pola kehidupan kita. Ada yang
mencukupkan diri untuk menjadi seorang yang shalih bagi individunya, tapi ada
juga orang mushlih yang mencoba berkontribusi memberikan ishlah untuk
lingkungannya. Bahwa menjadi individu yang shalih itu sebuah kebaikan, militan
dalam beribadah, totalitas dalam bersyariah dll. Tetapi kebaikan itu tidak dibatasi
pada masjid dan rumah pribadi saja, kebaikan juga harus didakwahkan,
direkayasa, diprogram dan dikampanyekan kepada orang lain.
Harusnya kita tidak
memisahkan atau mengkonfrontasikan antara orang yang ingin memperbaiki diri
sendiri dan orang yang ingin kebaikan bagi diri sendiri dan orang lain. Justru
dua sikap baik ini harus diakomodir dan disinkronkan.
Salah TV atau Salah
Kita?
Beberapa waktu yang
lalu ada obrolan tentang TV. Saya mulai dengan statemen bahwa TV mempunyai
andil dalam mewarnai nilai sosial kita; gaya hidup berpakaian, berbahasa,
belahan rambut dll. Dan diantara efek yang diberikan TV, sampai saat ini saya
nilai masih dominan dengan konten negatif. Ada seorang teman yang mengomentari
bahwa ungkapan di atas hanya mengkambinghitamkan tv, padahal yang salah adalah
kita. Kalau tidak suka dengan tv ya tidak usah ditonton saja. Bahwa tidak usah
melihat TV itu adalah hak masing-masing individu, saya juga bukan maniak
televisi. Kalau dikonversikan mungkin saya melihat televisi 0-2 jam sehari.
Lebih seringnya 0 jam.
Tapi bila berbicara
tentang tema-tema sosial, tentu kurang bijak bila berhenti pada level ‘saya ga
nonton tv kok’ atau ‘jangan nonton tv’, level individu. Bersosial adalah
bagaimana kita juga punya andil dalam merekayasa konsumsi-konsumsi masyarakat
kita. Bahwa kita tidak nonton konten negatif di televisi itu baik, tapi
kebaikan tidak hanya berhenti sampai di situ. Termasuk kebaikan adalah
bagaimana kita juga berusaha berkontribusi agar konten televisi di negara kita
juga baik. Kita ingin mengapresiasi bagaiman ternyata sutradara-sutradara
tertentu juga ‘berkelahi’ dengan bos-bos entertaiment, mereka berjuang agar
film positiv ini tetap diputar di bioskop, mendapat rating dan akhirnya bisa
memberi warna cerah bagi masyarakat kita.
Kita juga salut
bagaimana kesadaran sosial di masyarakat kita membuat kesepakatan bersama agar
pukul 18.00-20.00 untuk ibadah dan belajar. Lebih dari itu, kita juga bangga
beberapa pihak sudah memulai chanel-chanel edukatif dan keagamaan, sehingga
dunia pertelevisian kita tidak lagi didominasi dengan gosip, sinetron pacaran,
perkelahian atau gaya hidup hedonisme.