- Back to Home »
- TKI: Religiusitas, Solidaritas dan Egoisme.
Posted by : Alamin Rayyiis
Sabtu, 09 Oktober 2021
#peradabanTKI
#opiniRazmi
Sementara ini saya sudah berkunjung di 3 kota; Kimpo, Yongin dan
terakhir adalah Ansan sebagai masjid permanen yg saya singgahi. Di 3 kota itu
ada sebuah problem yang dirasakan oleh kebanyakan jamaah masjid, ya hanya
mereka, karena yang 'tdk mambu masjid’ tdk akan mempermasalahkannya. Masalah
itu berkisar pada sulitnya mencari waktu ideal untuk ibadah wajib, misal shalat
5 waktu, jumat dan shalat idul fitri dan idul adha.
Untuk shalat dhuhur dan asar banyak dari teman kita yang dijama’, kalau
sesekali mungkin masih wajar karena illah jama’ adalah halangan syar’i. Tapi
kalau selama 5 tahun dhuhur dan asar dijama’ terus, bagi seorang muslim taat,
hal tersebut sangat mengganjal di hati. Belum lagi shalat Jum'at, sesekali
mungkin memakai rukhshah jauhnya dari masjid jami’, atau mungkin tdk
ditemukannya jama'ah, tapi bila hal itu terjadi dalam kurun waktu bertahun2,
hati mereka juga tersayat, hal itu diakui sendiri oleh mereka. Memang ada beberapa
teman kita yang mencoba untuk izin dan ada beberapa yang mensiasati dengan
bergantian shalat 5 waktu dll. Beberapa bos mengizinkan tapi beberapanya tidak.
Intinya kita masih kesulitan untuk melakukan kewajiban2 dalam beragama.
Suatu ketika problem di atas pernah saya sampaikan ke seorang senior di
Korsel, sebut saja namanya Hadi (ya emang namanya itu 🤣),
beliau mengambil doktoral teknik di salah satu universitas di Korsel. Beliau
sudah lama di sini, dan sekarang sudah bekerja di salah satu perusahaan Korsel
dengan visa E7. Kepada beliau saya menanyakan apakah pihak Atnaker KBRI sudah
pernah melobi ke Depnaker Korsel untuk memberi hak beragama secara penuh kepada
pekerja muslim di perusahaan mereka. Lobi tersebut penting karena semua TKI yang
terhubung dengan pabrik maka pasti terhubung dengan Depnaker Korsel. Semua
penyaluran atau penempatan TKI kita di semua pabrik Korsel pasti melalui
mediasi Depnaker. Artinya, posisi Depnaker di sini sangat superior di hadapan
pabrik dan perusahaan yang memperkerjakan TKI2 kita. Bila intruksi untuk
'memberikan hak beribadah bagi pekerja muslim’ tersebut menjadi aturan baku
dari Depnaker maka bos2 pabrik atau perusahaan harus mentaatinya.
Menurut Aa Hadi hal itu pernah dicoba oleh Atnaker KBRI tapi sejauh mana
lobi tersebut berjalan beliau tidak tahu. Dan beliau justru membuat challange
kepada para TKI agar tuntutan untuk beribadah tersebut
datang/distimulus/dihangatkan dulu dari bawah, sisten bottom up. Baru kemudian
break down dari atas.
Kenapa tuntutan itu harus diawali dari bawah atau dengan 'demonstrasi
para pekerja’ , tidak langsung lobi Atnaker KBRI dgn Depnaker Korsel? Korsel
adalah negara dgn mayoritas penduduk ateis, agama dengan segenap ritualnya
bukanlah hal yang prioritas. Kristen sebagai agama terbangak kedua saja masih
'kalah’ dengan atmosfer ateisme, apalagi Islam dan muslim sebagai pendatang dan
sekaligus sebagai kaum buruh. Shalat, jumat, ied dan ritual keagamaan Islam
belum menjadi common sense orang Korea, terlebih para stakeholder di pabrik dan
perusahaan. Untuk memunculkan common sense tersebut, gampangnya cari perhatian,
maka temen2 pekerja harusnya yang menghangatkan lingkup grass root dengan
mendemonstrasikan secara massif tingkat kebutuhan mereka untuk beribadah. Baru
setelah itu aturan tentang waktu ibadah tersebut bisa dikuatkan dan
ditindaklanjuti dengan lobi resmi pemerintahan.
Namun, rekayasa seperti di atas masih mendapatkan ganjalan yang justru
datangnya dari para pekerja sendiri. Dari puluhan ribu pekerja yang taat
beragama, sadar untuk menjalankan kewajiban sebagai muslim berapa orang, berapa
persen? Bahkan kisah tentang mantan santri bukan hanya satu dan dua cerita.
Dulu pernah nyantri tapi kemudian tidak shalat sama sekali, mendem, karaokenan
dll. Bila prosentase yang tidak taat beragama lebih banyak, maka tentu yang
rugi justru teman2 yang dengan tulus ingin mendirikan shalat dan mengerjakan
puasa. Para stakeholder Korea (bos dan mandor) akan melihat bahwa ritual
keagamaan dalam Islam tidak penting2 amat kok, jadi ngapain repot2 memberi
30-60 menit untuk shalat, jumaatan dan keringanan jam kerja saat puasa.
Buktinya lebih banyak yang tidak mengerjakan daripada yang mengerjakan. Dan
wajar bila mereka khawatir bila 30-60 menit itu diberikan justru dijadikan
sebagai waktu bolos dari kerja, bagi ateis waktu adalah uang.
Saya menjadi maklum bahwa melahirkan tingkat kesadaran beragama secara
massif seperti gambaran di atas sangat berat. Jangankan tema seperti
solidaritas dalam beragama, solidaritas sesama pekerja Indonesia dalam satu
pabrik tentang nasib dan penderitaan saja masih perlu dibulatkan. Ada seorang
TKI yang mendapat perlakuan buruk dari mandor (disampluk, dijotos, ditekak dan
digajul, dilakukan secara bertubi) karena hal yang sangat sepele. Kondisi
seperti itu dilihat oleh teman lainnya di pabrik tersebut. Tapi semua mata yang
menyaksikan kejadian tersebut tidak semua siap untuk menjadi saksi bila
kejadian tersebut dibawa ke meja hijau. Sehingga si korban lebih memilih pindah
pabrik daripada mengusut kasus pidana yang ia terima.
Tentu kita tidak ingin mentok di level pesimis walaupun kondisinya
seperti di atas. Perlu wacana2 segar untuk mengusahakan agar teman2 kita yang
taat beragama khususnya, agar tidak nawaitu njama’ solat sak lawase ✌️. Bila para bos dan mandor khawatir waktu ibadah itu digunakan
untuk bolos bagi para pekerja, maka tandai dan berikan waktu ibadah tersebut
khusus bagi pekerja2 yang memang menggunakannya untuk beribadah.
Tentang siapa yang taat dan tidak taat beribadah, hal itu bisa dinilai
dari keseharian mereka di pabrik. Dan ini mungkin dan sudah terjadi, beberapa
teman kita mendapatkan izin dari bos untuk shalat dan jumatan karena mereka
rutin melakukannya, menjaga makanan dari yang haram dll, semua itu masuk dalam
pantauan mandor atau bos pabrik. Sedangkan pekerja Indonesia yang tidak
terlihat rutin ibadah, sering makan babi/haram, minum khamar maka si bos tidak
memberi izin. Fenomena bos/mandor pabrik seperti di atas memang ada tapi tidak
banyak.
Akhirnya, tinggal seberapa jauh NIAT kita (Atnaker KBRI) untuk berusaha
memberi hak beribadah para Pahlawan Devisa kita. Dan tentu, TEKNIS dan caranya
bagaimana. Semoga Allah menjaga TKI kita dari godaan 😈
yg terkutuk.