- Back to Home »
- Ulumul Quran »
- 'Alaikum Anfusakum - Dalil Untuk Careless?
Posted by : Alamin Rayyiis
Selasa, 10 Mei 2016
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا
اهْتَدَيْتُمْ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا
كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (المائدة:
105)
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu;
tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah
mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan
menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (al-Maidah: 105)
Dari ayat di
atas, ‘alaikum anfusakum la yadhurrukum man dhalla idzahtadaitum’ bisa
dipahami secara literal bahwa kita diperintahkan untuk menjaga diri sendiri,
dan selama kita ‘sendiri’ sudah mendapat petunjuk maka urusan orang lain tidak
ada sangkut pautnya dengna kita lagi.
Akhirnya, ayat
ini disalahpahami oleh orang-orang malas dan egois, orang-orang yang lari dari
aktifitas dakwah maupun aktifitas kebaikan lain yang melibatkan interaksi
sosial. Mereka menjadikan ayat di atas sebagai bentuk apologi keberlepasan diri
terhadap lingkungan. Kalau bahasa gaulnya “Kan Allah sendiri yang bilang
agar kita jaga diri sendiri. Kalau orang lain rusak mah ga bakal ngefek ke
kita”. Bahkan bisa jadi ditambah embel-embel “Jangan sok suci”, “Emang
lu malaikat” “Cuma Tuhan yang mahabener…”
Ibnu Katsir
menegaskan bahwa ayat di atas bukanlah dalil untuk meninggalkan amar makruf
dan nahi mungkar, menyeru kepada kebaikan dan melawan kemungkaran. Dalam
tafsirnya beliau memberikan 2 pendekatan untuk memberi pemahaman yang tepat
terhadap ayat di atas.
Pendekatan
pertama. Beberapa ulama mengatakan bahwa ayat ini berlaku pada momen dan
kondisi tertentu. Seperti ungkapan para ulama salaf, jika kita sudah menyeru
kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, sedangkan orang yang kita seru tadi
tidak menerima ajakan kita, maka keberadaan mereka yang lebih memilih kesesatan
dan kemungkaran tidak akan memberi madharat kepada kita.
Karena
hakikatnya kita sudah melaksanakan kewajiban untuk tabligh, entah dengan
tangan, lisan atau sekedar batin yang resah akan adanya kedhaliman, sedangkan taghyir
dan hidayah bukan merupakan wilayah manusia.
Pendekatan
kedua. Ayat di atas memberi kata kunci idzahtadaitum, yang bermakna
‘apabila/ketika kalian mendapat petunjuk’. Dan untuk mendapat kategori idzahtadaitum
seorang hamba harus menyeru kebaikan, mencegah kemungkaran, dakwah kepada
Allah serta melakukan kebaikan-kebaikan lain. Maka mustahil seseorang mencapai
derajat ‘mendapat hidayah/petunjuk’ ketika orang tersebut hanya mementingkan
dirinya sendiri.
Memang benar
bahwa mendidik diri sendiri agar menjadi orang baik merupakan bagian dari
hidayah Allah. Namun begitu, bagian lain dari hidayah Allah berbentuk interaksi
sosial, komunitas dan kebersamaan alias ‘jamaah’. Menjadi shalih itu
baik, tapi lebih baik adalah mushlih. Shalih adalah kebaikan untuk diri
sendiri, sedangkan mushlih meniscayakan kebaikan untuk banyak orang.
Ayat di atas
harus dipadu dengan ayat maupun hadits-hadits lain yang mempunyai konteks yang
sama. Di dalam surat Ali Imran: 110 Allah berfirman, “Kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang
munkar, dan beriman kepada Allah…” Allah
juga berfirman di surat al-Anfal: 25, “Dan peliharalah dirimu dari
pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara
kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.”
Di zaman sahabat dulu, Abu Bakar ra. berdiri di hadapan khayalak,
setelah memuji Allah ia pun menyeru orang-orang di hadapannya.
“Wahai manusia sekalian, sesungguhnya kalian telah membaca ‘Ya
ayyuhalladzina amanu… alaikum anfusakum…’. Dan kalian meletakan ayat itu bukan
pada pemahaman yang tepat. Maka, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah
bersabda, ‘Sungguh, jika ada orang yang melihat sebuah kemungkaran dan ia tidak
mencegahnya, hampir saja Allah akan menimpakan hukuman itu kepada orang-orang
yang di sekelilingnya’.”
NB: Disarikan dari Ayâtun Yukhthi`u fiha Katsîrun minan Nâs – Syaikh Muhammad Shalih Munjid