- Back to Home »
- Sastra , Ulumul Quran »
- Bahasa Sastra dalam Islam
Posted by : Alamin Rayyiis
Rabu, 04 November 2015
Bahasa adalah komponen penting dalam
kehidupan manusia. Jauh sebelum adanya ilmu-ilmu bahasa dari yang paling dasar
sampai paling rumit dan komplek, manusia purba (anggap saja manusia primitif di
pedalaman) sudah mengenal ‘bahasa’. Manusia purba sudah mengenal bahasa
isyarat, dari kejauhan mereka bisa mengkomunikasikan dan saling memahamkan
suatu maksud dan ungkapan. Anak-anak kepanduan mempunyai sandi dasar seperti
semapur, morse, sandi rumput dll. Rumpun ilmu bahasa di era modern juga semakin
kompleks, grammer atau nahwu, balaghah-ma’ani-badi’, linguisti, fonologi,
morfologi, semantik, psikolinguistik, sosiolinguistik dan itik-itik lainnya J.
Intinya, membaca rangkaian huruf
yang menjelma kata, kata menjelma kalimat, alenia, paragraf dan seterusnya, sejatinya tidak
sekedar membaca dhahirnya saja. Ada makna-makna yang tersirat dari rangkaian
tulisan yang tersurat, ada manthuq dan ada mafhum, ada makna hakiki dan ada
makna majazy dll. Aktifitas membaca dan berbahasa itu tidak semudah yang kita
bayangkan. Terlalu remeh kalau kita membaca al-Quran hanya bermodal terjemah,
apalagi pola pikir yang bersangkutan sangat literal/leterlek (letterlijk).
وَلُوطًا آتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ
الْقَرْيَةِ الَّتِي
كَانَت تَّعْمَلُ الْخَبَائِثَ إِنَّهُمْ
كَانُوا قَوْمَ سَوْءٍ فَاسِقِينَ ﴿الأنبياء: ٧٤﴾
Ayat yang bergaris bawah
mempunyai arti literal “Kampung atau negeri yang berbuat keji”, jelas bahwa
sebenarnya yang berbuat keji bukanlah daerah atau tanah itu sendiri, tetapi
orang-orang kafir durjana itulah yang berbuat keji, tetapi al-Quran menisbatkan
perbuatan keji tersebut kepada kota. Di ayat lain Allah juga berfirman “Dan
bertanyalah kepada kota yang menghadap ke laut”, kita mafhum bahwa
manusia tidak bisa bertanya maupun berdialog dengan pohon, batu, pasir atau
ombak di laut, oleh karena itu makna majazy dari perintah Allah di atas adalah,
kita diperintahkan untuk bertanya kepada orang-orang yang menempati kota
yang menghadap ke laut.
Dan di sinilah letak perbedaan antara
golongan asya’irah dan ahlul hadits, dimana asya’irah menerima kalimat majazy
dan golongan ahlul hadits tidak menerimanya. Dan akhirnya, karakteristik
madzhab asya’irah sangat lues dalam mengharmonisasikan antara teks dengan
konteks, sedangkan madzhab ahlul hadits lebih terkesan pada makna literal
sebuah teks saja.
Kemudian, realita beragama di tengah
masyarakat kita ada yang nuansa kulturalnya sangat dekat dengan nyanyi
shalawat. Salah satu arti shalawat adalah pujian. Di satu sisi, redaksi shalawat
memang sudah di-nas-kan oleh Rasulullah saw., yaitu kala kita membaca penggalan
akhir dari shalawat ibrahimiyyah saat tahiyyat akhir. Tapi di luar konteks
shalat, maka sebenarnya memuji Rasulullah boleh menggunakan redaksi apa saja
dan bahasa apa saja, selagi semuanya itu sesuai dengan maqam Rasulullah saw.
Misal Nabi Muhammad ‘disamakan’ dengan badr/bulan
purnama, hal ini jangan dianggap bahwa, orang yang awalnya ingin memuji
Rasulullah justru dikatakan menurunkan derajat Rasulullah karena sudah
menyamakannya dengan benda mati. Misal lain adalah redaksi shalawat nariyah, ‘tanhalu
bihil ‘uqadu wa tanfajiru bihil kurabu’(dengannya akan lepas semua kesempitan, .
Kalau kita hanya mengandalkan makna literal saja, mungkin kita akan
mengatakan bahwa orang yang bersenandung seperti itu sama saja menyamakan Rasulullah
dengan Allah dan akhirnya disimpulkan dengan kesyirikan.
“Ya Allah, limpahkanlah shalawat yang sempurna dan
curahkanlah salam kesejahteraan yang penuh kepada junjungan kami Nabi Muhammad,
yang dengan sebab beliau semua kesulitan dapat terpecahkan, semua kesusahan dapat
dilenyapkan, semua keperluan dapat terpenuhi, dan semua yang didambakan serta
husnul khatimah dapat diraih, dan berkat dirinya yang mulia hujanpun turun, dan
semoga terlimpahkan kepada keluarganya serta para sahabatnya, di setiap detik
dan hembusan nafas sebanyak bilangan semua yang diketahui oleh Engkau”
Dan akan banyak sekali ungkapan-ungkapan sederhana,
narasi ilmiah atau penggalan dialog dari ulama, bila dipahami hanya dengan
leterlek saja pasti akan melahirkan pemahaman yang sempit dan kontradiktif,
cenderung mudah menyalahkan pernyataan secara sepihak. Dikusi terpisah alias
perang komentar yang pernah terjadi antara Ust. Amru Khalid dengan Syaikh
Muhammad Hassan, -semoga Allah merahmati beliau berdua-. Keduanya terlibat
diskusi panas, dimana Ust. Amru Khalid pernah ‘mengatakan’ Rasulullah gagal,
sedangkan Syaikh Muhammad Hassan sangat tidak terima dengan pernyataan itu
sembari menyatakan berkali-kali dengan sumpah bahwa Rasulullah tidak pernah
gagal, dan seterusnya.
Kembali ke tema shalawat nariyah, sebenarnya bait-bait syi’r shalawat
nariyah disusun dalam rangka mereview sejarah Nabi Muhammad saw, alias
mendekripsikan kemuliaan apa saja ‘yang pernah’ terjadi karena berwasilah
dengan Nabi Muhammad saat beliau hidup dulu. Contoh sederhana yang baru saja
saya baca di buku ar-Rahiq al-Makhtum karya Syaikh Shofiyurahman
al-Mubarakfury, bahwa suatu ketika Makkah dilanda kekeringan, kemudian
orang-orang Quraisy mendatangi Abu Thalib, kita sama-sama tahu bahwa Bani
Hasyim adalah klan termulia di bani Quraisy, hal itu tidak bisa dilepaskan dari
peran klan tersebut sebagai pelayan Kakbah di masa jahiliyah.
Dan bani Hasyim juga sadar, sejak kelahiran Nabi
Muhammad kemudian diasuh oleh kakek Abdul Muthalib dan paman Abu Thalib, mereka
tahu bahwa Muhammad kecil mempunyai keistimewaan yang tidak dimiliki oleh
anak-anak seumurannya. Sehingga, ketika kemarau panjang melanda Makkah di era
Abu Thalib, beliau pun mengumpulkan orang-orang Quraisy di pelataran Kakbah,
dan saat itu Nabi Muhammad dihadapkan di depan orang-orang yang berharap hujan.
Mereka bertawasul dengan kemuliaan Muhammad saat kecil. Selang beberapa waktu
setelah itu hujan pun turun. Itu kisah tentang yustasqa ghamam.
Tanhallu bihil ‘uqadu berkisah tentang seseorang yang ditimpa musibah tapi karena gemar
bershalawat atas nabi, musibah itupun menyingkir, tanfariju bihil kurab
berkisah tentang seseorang yang berhutang lantas hutangnya dilunasi oleh Rasulullah,
tuqdha bihil hawaij berkisah tentang hajah atau keinginan
Julaibib yang berparas nanggung, dan ingin memperistri wanita cantik. Itu bila
kita memaknai shlawat nariyah dari kaca mata ringkasan sejarah.
Bila kita melihat dari kaca mata bahasa, maka perlu
kita pahamkan bahwa dhomir bihi sebenarnya bisa kembali kepada Allah, maupun
kembali kepada Rasulullah saw., dengan catatan, bahwa yang dzat yang Maha mampu
melakukan segalanya, mengeluarkan kita dari kesusahan, memberi kita rizki dan
lain sebagainya hanyalah Allah swt., Rasulullah hanyalah perantara yang
mengajarkan bagaimana kita berikhtiar dan berdoa untuk menggapai kebutuhan dan
harapan kita semua.
Contoh sederhana yang terjadi di keseharian kita
adalah ungkapan seorang siswa yang sedang menghadapi ujian dan akhirnya lulus
karena bimbingan guru privatnya, sebagai bentuk hormat dan terimakasih maka
siswa tersebut mengucapkan “Terimakasih guru, kalau bukan karena guru mungkin
saya tidak akan lulus”. Ungkapan seperti ini apakah lantas menafikan dzat Allah
sebagai sumber pertama yang meluluskan siswa tersebut? Apakah orang yang
mengungkapkan kalimat tersebut lantas dihukumi musyrik?
Dan sebenarnya, kalau teman-teman yang punya orientasi
menjadi muslim literal (kalau istilah gerakan biasanya dinamakan Salafy, kalau
istilah akdemisi dinamakan Ahlul Hadits), atau hanya mengandalkan shorih dari
sebuah teks, tanpa mengharmonisasikannya dengan perangkat ilmu bahasa maupun
sastra, dengan metode yang sama yang mereka anut, secara otomatis mereka akan
menolak hadits shohih yang selalu dijadikan sebagai pembuka sebelum ceramah atau khutbah.
“…. Khairul hadiyi hadyu Muhammadin…”, (Dan sebaik-baik hidayah adalah hidayahnya Muhammad
saw). Sekali lagi, kalau kita hanya mengandalkan makna literal saja, maka
hadits tersebut bertentangan dengan ayat al-Quran dan mempunyai potensi kesyirikan
juga. Karena dalam al-Quran disebutkan “…innaka lan tahdi man ahbabta
walakinnalLaha yahdi man yasya…” (Sesungguhnya kamu tidak akan pernah bisa
memberi petunjuk kepada orang yang kamu cintai, tetapi Allah lah yang memberi
petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki).
Link tambahan - http://khususdoa.blogspot.co.id/2015/04/sejarah-bacaan-sholawat-nariyah-dan-artinya-yang-penuh-kontroversi.html