- Back to Home »
- Metafisika , Pemikiran , Ruhaniyat »
- Dimensi-Dimensi dalam Ibadah
Posted by : Alamin Rayyiis
Selasa, 27 Oktober 2015
Bismillah. Allah dan Rasulullah telah
menurunkan agama Islam sebagai agama yang sempurna; universal, komprehensif dan
integral. Mengakomodasi dimensi akhirat dan duniawi sekaligus, khaliq dan
makhluq, jiwa dan raga, materi dan immateri, nikmatnya surga dan sengsaranya
neraka dll. Semua yang berada di alam penciptaan dengan kedua sisinya mempunyai
‘tempat’ dalam agama Islam.
Untuk menghindari dikotomi dua sisi di atas
maka kita harus belajar mengenali dimensi apa saja yang ada di dalam ibadah dan
amalan-amalan dalam agama Islam. Sehingga keberadaan dimensi tersebut tidak
dipelajari secara terpisah tapi menyeluruh. Dengan mengetahui keberadaan
multidimensi dalam sebuah amal ibadah, kita akan melihat suatu ibadah pada
porsinya, terhindar dari ifrath maupun tafrith, ghuluw maupun tasahul.
Misal, cara pemahaman dan pendekatan da’i-da’i
klasik biasanya terlalu mengedepankan maqashid ukhrawiyah, cara penyampaiannya
pun cenderung dominan dengan dogma maupun doktrin. Keterangan yang disampaikan
seringkali mengesampingkan aspek-aspek humaniora. Bahasa dan istilah yang
dipaparkan terlalu definitif atau terlalu hitam putih.
Kali ini kami ingin mencoba menggambar
klasifikasi atau dimensi apa saja yang ada dalam setiap ritual ibadah seorang
muslim, kami tekankan dengan kata-kata ‘ritual’ karena sesuatu yang
multidimensi tadi biasanya melekat pada ibadah-ibadah dhahiriyah atau ibadah
jawarihiyah, amal ibadah yang dilakukan secara terlihat kasat mata atau
melibatkan anggota badan.
Beberapa dimensi yang biasanya melekat pada
ritual ibadah tadi kami istilahkan dengan niat/ghayah – faidah/manfa’ah – adawat; tujuan – manfaat – fasilitas. Niat adalah azm atau tujuan utama
dalam amal ibadah, atau alasan utama dalam mengerjakan sesuatu adalah untuk
Allah semata, apapun, bagaimanapun dan kapanpun kondisinya. Tanpa tendensi
materi, pragmatisme, keterkaitan emosional dengan pihak lain, murni hanya untuk
Allah. Dan, bagaiamanapun Allah meresponnya. Tingkat ibadah yang didasari niat
suci biasa tidak akan terpengaruhi faktor apapun.
Ibadah yang sarat dengan dimensi ini biasanya
adalah ibadah mahdhah atau ibadah yang masuk kategori ghairu ma’qulatil ma’na,
totalitas tanpa batas. Bahkan ketika sebuah ibadah mempunyai beberapa faidah
dan manfaat dhahir baginya, tatkala ia tidak merasakan atau belum mendapatkan
manfaat itu, derajat penghambaannya
dalam melaksanakan ibadah tersebut tidak berkurang sedikitpun.
Misal salah satu faidah dari shalat tahajud
adalah kesehatan, bahkan ia menyembuhkan beberapa penyakit fisik seperti kanker
maupun jantung. Ketika seseorang sedang ditimpa musibah berupa sakit, dan dia
juga rajin mengerjakan shalat tahajud, akan tetapi Allah belum berkenan
memberikan kesembuhan kepada hamba tersebut, maka insyaAllah indikasi niat suci
dan murni itu ada pada orang tersebut. Misal lain, bila kita bersedekah maka
Allah akan memudahkan dan melipatgandakan harta atau rezeki kita, tapi ketika
seorang hamba rajin bersedekah dan mungkin penghasilan bulanannya lebih sedikit
dari orang lain yang kikir, tetapi di waktu yang sama ia rajin bersedekah
dengan ikhlas, maka insyaAllah hamba tersebut mempunyai indikasi niat dan
ghayah hanya kepada Allah semata.
Sedangkan manfaat adalah sisi lain atau dimensi
turunan yang muncul dari ibadah tersebut, atau kadang juga diistilahkan dengan
hikmah, hikmah tasyri’/filosofi hukum Islam. Tentunya pembahasan ini masih
menyisakan ruang diskusi untuk mempelajari perbedaan antara hikmah dan ‘illah.
Kembali pada contoh di atas, bahwa salah satu manfaat atau hikmah tahajud
adalah penguatan sistem imunitas tubuh ataupun efek positif pada neurologi otak
kita.
Bila berbicara tentang manfaat atau alasan
konkrit dalam suatu ibadah, biasanya amalan ibadah yang sarat dengan manfaat
yang kasat mata biasanya diistilahkan dengan ibadah ghairu mahdhah atau ibadah ma’qulatul
ma’na. Misal ibadah sahur, salah satu manfaat yang jelas terkandung dari sahur
adalah agar kita kuat untuk menjalani puasa, oleh karena itu dihukumi sunah. Dan
banyak sekali ibadah-ibadah dalam Islam yang mendatangkan manfaat yang lahir
maupun batin.
Perlu sedikit catatan tambahan dalam poin ini,
bagaimanapun juga, ibadah seseorang haruslah dititikberatkan pada perintah dan
larangan yang datang dari Allah swt. maupun Rasulullah saw. secara an sich atau
apa adanya. Namun demikian, bila kita kaitkan dengan cara dakwah da’i-da’i
modern dewasa ini maka kita patut bersyukur bahwa kajian-kajian yang mengungkap
dimensi manfaat atau hikmah dari sebuah ibadah tengah digalakkan. Inilah yang
akhirnya melengkapi cara dakwah Islam, agar mengintegralkan antara perintah
langit dengan manfaat yang tercecer dalam ritual ibadah manusia bumi. Dan
memang masyarakat modern mempunyai cara berfikir yang lebih kompleks, dimana
misteri sains, manfaat humaniora dan dimensi-dimensi keilmuan dewasa ini memang
layak digali dari khazanah keislaman itu sendiri.
Kajian yang perlu dikembangkan dalam hal ini
adalah islamisasi sains sudah diinisiasi oleh beberapa tokoh seperti; Ismail
Raji al-Faruqi, Syaid Naquib al-Attas, Ziauddin Sardar, Hussain Nasr. Tokoh
tambahan yang juga getol mengeksplorasi sains berbasis wahyu adalah Dr. Zaghlul
an-Najjar, Agus Purwanto, D.Sc dll. Atau beberapa penelitian dari tokoh-tokoh
sains yang beberapanya terekam dalam artikel http://www.eajaz.org.
Dimensi terakhir yang biasanya terkait dengan
ritual ibadah kita adalah adawat atau perangkat penunjang dalam beribadah.
Dimensi di luar ibadah yang keberadaannya kadang wajib atau sekedar sunah.
Keberadaanya kadang bersifat dhoruri atau tahsini. Seorang Da’i yang mempunyai
aktifitas padat, harus intensitas mobile alias wira-wiri yang tidak bisa lagi
dihindari membutuhkan perangkat penunjang yang memudahkannya untuk
beraktifitas, seperti mobil, motor, ihsan dari untuk transportasi dll, termasuk
berdemokrasi dalam menegakkan nilai-nilai Islam di bumi nusantara. Tentunya
hal-hal yang sifatnya demikian tadi harus disikapi dengan mentalitas zuhud dan
wara’, sehingga sesuatu yang dasarnya sekedar penunjang jalannya ibadah atau
dakwah, jangan sampai beralih maqam menjadi niyyah atau ghayah.
Ini ada contoh link dimana ajaran Islam
dimaknai sangat dikotomis, akhirnya proses-proses atau pelatihan ritual ibadah
yang memberi manfaat bagi banyak dimensi dikebiri sedemikian rupa, akhirnya
justifikasi sesat, menyimpang, bid’ah, sinkretisme bertebaran dimana-mana. Ayat
al-Quran dan hadits Rasulullah saw. diparadekan, ditampilkan secara berjejer,
tapi minus istinbath dalil, wajhud dilalah dll: https://abufahmiabdullah.wordpress.com/2009/12/26/penyimpangan-abu-sangkan-dengan-bukunya-pelatihan-sholat-khusyu/