- Back to Home »
- Hari Raya , Usul + Fikih »
- BOLEHKAH SHALAT ‘ID DUA KALI? - Abu Akmal Mubarok
Posted by : Alamin Rayyiis
Rabu, 23 September 2015
Pada masa
kini kadang kala terjadi perbedaan pendapat antara satu organisasi Islam dengan
organisasi Islam yang lainnya, dalam menentukan tibanya hari raya (‘Idul Fitri
atau ‘Idul Adha). Sehingga ada sebuah keluarga yang mudik kemudian shalat ‘Id
lebih dulu dari pada orang tuanya kemudian keesokan harinya ia shalat ‘Id lagi
karena tidak enak hati dan menghormati orang tuanya. Bolehkah dua kali
melaksanakan shalat ‘Id ?
Sebagian
orang buru-buru menjawab : “Yah itu urusan masing-masing”. Memang, pada zaman
sekarang masalah agama menjadi uruasan masing-masing. Namun tidak ada salahnya
jika sikap kita bukan berlandaskan logika semata melainkan perlu memahami duduk
perkaranya dan mengetahui landasan atau alasan masing-masing.
Sebenarnya
hal ini tidak akan menjadi persoalan jika umat Islam sepakat mengakui
pemerintah sebagai Ulil Amri yang berhak menetapkan perbedaan yang timbul.
Karena Al-Qur’an pun memerintahkan agar mentaati ulil amri :
Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. An-Nisaa’ [4] : 59)
Ada yang
menyahut : “Ulil Amri yang bagaimana dulu?” Ya, ya karena pada zaman sekarang
ini berbeda dengan zaman khalifah muslim dulu, dimana zaman dulu, ulil amri
mendapat legitimasi untuk memutuskan perkara politis sekaligus juga masalah
agama. Sedangkan zaman sekarang, akibat dari konsep sekuler yang memisahkan
antara agama dan politik, (hal ini mengikuti pada perkataan kitab kaum
non-muslim yang mengatakan berikan hak raja untuk raja dan hak pendeta untuk
pendeta) maka wajar jika pemerintah pada
zaman sekarang tidak digugu tidak dituruti dalam mengatur masalah agama. Karena
agama zaman saekarang adalah urusan pribadi, paling maksimal agama adalah
urusan masing-masing jama’ah dan organisasi. Dengan logika sekuler ini,
keputusan soal agama adalah hak asasi tiap pribadi, dan paling maksimal ia akan
menuruti tokoh masyarakat, imam masjid, keputusan jama’ah atau organisasi.
Maka
jangan menggerutu dan menyalahkan orang yang tidak mau mengikuti pemerintah
dalam masalah agama karena toh kita juga yang menyepakati konsep sekularisme
ini. Di satu sisi mereka mengatakan “jangan campur adukkan antara agama dan
politik” lalu “negara kita bukan negara agama” namun di sisi lain menuntut umat
agar manut dan nurut pada pemerintah dalam masalah agama? Ya plin-plan namanya.
Baiklah, pembahasan masalah ulil amri ini kita bahas kapan-kapan saja.
Kembali
pada soal perbedaan pendapat dalam penentuan waktu hari Raya, hal ini telah
terjadi sejak zaman Rasulullah s.a.w. namun pada masa itu, beliau s.a.w.
menjadi pemimpin negara Madinah, sekaligus sebagai pemimpin spiritual atau
agama. Sehingga masalah perbedaan ini selesai dan diputuskan oleh Rasulullah
s.a.w. dan semua pihak tidak ada yang menyempal atau bertindak semaunya
sendiri. Dalam sebuah hadits diceritakan sekelompok orang bersaksi melihat
hilai (akhir Ramadhan) lalu Rasulullah s.a.w pun memutuskan untuk menetapkan
akhir Ramadhan atau awal 1 syawal aman damai tak ada perbedaan dalam hal ini :
Telah
menceritakan kepada kami Hafsh bin Umar telah menceritakan kepada kami Syu’bah
dari Ja’far bin Abu wahsyiyah dari Abu ‘Umair bin Anas dari paman-pamannya yang
juga sahabat Rasulullah s.a.w. bahwa suatu rombongan datang kepada Nabi s.a.w.,
mereka bersaksi bahwa mereka telah melihat hilal kemarin. Maka beliau
memerintahkan mereka (masyarakat) untuk berbuka puasa, dan keesokan harinya,
mereka berpagi-pagi menuju ke tempat shalat (untuk melaksanakan shalat hari
raya Idul Fitri).” (H.R. Abu Daud No. 977) Nashiruddin Al-Albani menyatakan
hadits ini shahih.
Telah
menceritakan kepada kami Musaddad, serta Khalaf bin Hisyam Al Muqri`, mereka
berkata; telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Manshur dari Rib’i bin
Hirasy dari seorang sahabat Nabi s.a.w., ia berkata; orang-orang berselisih
mengenai akhir hari Ramadhan. Kemudian terdapat dua orang badui yang datang dan
memberikan persaksian di hadapan Nabi s.a.w. dengan nama Allah, sungguh mereka
telah menyaksikan Hilal ( 1 syawal) kemarin sore. Kemudian Rasulullah s.a.w.
memerintahkan orang-orang agar berbuka. Khalaf menambahkan dalam haditsnya; dan
agar mereka pergi ke lapangan. (H.R. Abu Daud No. 1992) Nashiruddin Al-Albani
mengatakan hadits ini shahih
Namun
setelah Rasulullah s.a.w. wafat perbedaan dalam menentukan waktu ini pun
terjadi perbedaan pendapat dan masing-masing boleh berpegang pada pendapatnya.
Hal ini misalnya terjadi perbedaan antara Ibnu Abbas r.a. yang berada di
Madinah dengan Mu’awiyyah yang kala itu menjabat sebagai gubernur wilayah Syam
:
Telah
menceritakan kepada kami Musa bin Isma’il, telah menceritakan kepada kami
Isma’il bin Ja’far, telah mengabarkan kepadaku Muhammad bin Abu Harmalah, telah
mengabarkan kepadaku Kuraib, bahwa Ummu Al Fadhl binti Al Harits telah
mengutusnya pergi kepada Mu’awiyah di Syam. Ia berkata; aku datang ke Syam, dan
menunaikan keperluannya, kemudian telah nampak hilal Ramadhan sementara aku
berada di Syam. Kami melihat hilal pada malam Jum’at kemudian aku datang ke
Madinah pada akhir bulan. Lalu Ibnu Abbas bertanya kepadaku. -kemudian ia
menyebutkan hilal. Kemudian Ibnu Abbas berkata; kapan kalian melihat hilal? Aku
katakan; aku melihatnya pada malam Jum’at. Ia berkata; apakah engkau
melihatnya? Aku katakan : “ya, dan orang-orang pun melihatnya”. Mereka berpuasa
dan Mu’awiyah pun berpuasa. Ibnu Abbas berkata : “ Akan tetapi kami melihatnya
pada malam sabtu, dan kami masih berpuasa hingga kami menyempurnakan tiga puluh
hari atau kami melihat hilal”. Aku (Kuraib) katakan; tidakkah engkau cukup
dengan (ru`yah) yang dilihat Mu’awiyah dan puasanya? Ia (Ibnu Abbas) berkata :
“ tidak, demikianlah Rasulullah s.a.w. memerintahkan kami”. (H.R. Abu Daud No.
1985 Muslim No. 1918, Nasa’i No. 2084,
Ahmad No. 2653)
Hadits di
atas ada yang menafsirkan bahwa wilayah yang berjauhan memiliki ketetapan
sendiri karena posisi kemunculan bulan berbeda. Inilah yang dimaksud dengan
perkataan mengapa ia tidak mengikuti ru’yat Mu’awiyah ? Ibnu Abbas menjawab :
Tidak. Demikianah Rasulullah s.a.w. memerintahkan kami. Maknanya adalah orang Madinah
tidak melihat hilal, adapun Mu’awiyah melihat hilal di wilayah Syam tidak bisa
dipakai sebagai patokan bagi penduduk Madinah. Maka yang utama adalah melihat
hilal tersebut pada masing-masing wilayah. Maka perbedaan ini dibolehkan jika
wilayahnya jauh.
Namun pada
zaman sekarang ini perbedaan terjadi pada wilayah yang sama bahkan satu kota
yang sama bisa melaksanakan shalat Id dua kali. Bolehkah ini dilakukan ?
Boleh
Melaksanakan Shalat ‘Id Keesokan Harinya
Menyikapi
perbedaan waktu hari raya, sebenarnya ada beberapa alternatif. Belum tentu ia
harus melaksanakan shalat ‘Id dua kali, karena sebenarnya walaupun seseoran
meyakini hari raya jatuh pada hari ini, shalat ‘Idul fitri boleh ditunda
beberapa hari esoknya. Apalagi jika hari raya ‘Idul Adha maka shalat ‘Id bisa
dilaksanakan sampai 3 hari berikutnya (hari tasyrik).
Jika kita
melihat hilal pada sore hari menjelang maghrib pada hari ini, maka malamnya
kita melakukan takbir dan keesokan harinya kita melaksanakan shalat ‘Id.
Telah
menceritakan kepada kami Isma’il telah mengabarkan kepada kami Ayyub dari Nafi’
dari Ibnu Umar ia berkata, ” Abdullah bin Umar mengutus seseorang untuk melihat
hilal, bila hilal terlihat maka besok berarti hari Ied, namun bila tidak
terlihat (hilal) dan tidak ada mendung ataupun asap yang menutupi pandangannya,
maka keesokan harinya ia berbuka (tidak berpuasa), namun bila ada mendung atau
asap yang menutupi pandangannya maka pada keesokan harinya ia berpuasa.” (H.R.
Ahmad No. 4258)
Namun
suatu ketika Rasulullah s.a.w. pernah baru mengetahui bahwa kemarin sudah
terlihat hilal, berarti seharusnya hari ini sudah melaksanakan shalat ‘Id namun
beliau masih berpuasa karena tidak tahu. Maka hari itu beliau memerintahkan
berbuka dan baru pada keesokan harinya lagi melaksanakan shalat ‘Id. Ini
berarti shalat ‘Id di adakan selang 2 hari setelah terlihatnya hilal (kemarin
lusa).
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far, telah menceritakan kepada kami
Syu’bah dari Abu Bisyr dari Abu Umair bin Anas dari kebanyakan para sahabat Nabi
s.a.w. bahwa serombongan orang datang
kepada Nabi s.a.w., kemudian mereka bersaksi bahwa mereka kemarin melihat
hilal, lalu beliau menyuruh orang-orang untuk berbuka dan agar besoknya mereka
keluar (untuk shalat id).” Syu’bah berkata; “Aku mengiranya saat itu terjadi di
akhir siang (sore).” (H.R. Ahmad No. 19670 No. 19675) Hadits ini munkar karena
tidak disebutkan atau tidak jelas Umair bin Anas mendengar dari sahabat siapa
sampai kepada Nabi s.a.w.
Namun
hadits di atas mendapat syahid (kesaksian) yang menguatkan dari hadits lain
yang lebih shahih
Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah berkata, telah menceritakan
kepada kami Husyaim dari Abu Bisyr dari Abu Umair bin Anas bin Malik ia
berkata; telah menceritakan kepadaku paman-pamanku dari kalangan Anshar -mereka
adalah para sahabat Rasulullah s.a.w. mereka berkata, “Kami tidak dapat melihat
hilal bulan Syawal, maka pada pagi harinya kami masih berpuasa, lalu datanglah
kafilah di penghujung siang, mereka bersaksi di sisi Nabi s.a.w. bahwa kemarin
mereka melihat hilal. Maka Rasulullah s.a.w. pun memerintahkan mereka berbuka,
dan keluar untuk merayakan hari rayanya pada hari esok. ” (H.R. Ibnu Majah No.
1643 Abu Daud No. 977) Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadist ini shahih.
Telah mengabarkan
kepada kami ‘Amr bin ‘Ali dia berkata; telah menceritakan kepada kami Yahya dia
berkata; telah menceritakan kepada kami Syu’bah dia berkata; telah menceritakan
kepada kami Abu Bisyr dari Abu ‘Umair bin Anas dari bibinya, bahwa ada suatu
kaum yang melihat hilal (bulan Sabit, masuknya bulan Syawal), lalu mereka
datang kepada Rasulullah s.a.w.. Kemudian beliau s.a.w. memerintahkan mereka
untuk berbuka puasa setelah hari agak siang dan keluar ke tempat shalat Id
(hari raya) besoknya. (H.R. Nasa’i No. 1539)
Hal ini
karena Rasulullah s.a.w. baru mendengar (bahwa kemarin sore sudah muncul
hillal) pada siang atau sore hari sehingga tidak memungkinkan melaksanakan
shalat ‘Id pada sore hari. Maka boleh melaksanakan shalat ‘Id pada keesokan
harinya lagi.
Maka
berdasarkan hadits di atas mayoritas ulama berpendapat boleh menunda
melaksanakan shalat ‘Id pada keesokan harinya lagi (2 hari sejak terlihatnya
hilal) (Lihat Ad-Durr Al Mukhtar Jilid 1 hal 782, Tabyiin Al Haqaa’iq Jilid 1
Hal 226), Al Fatawa Al Hindiyah Jilid 1 Hal. 142, Al Muhadzdzab Jilid 1 Hal.
131, Al Mughni Al Muhtaaj Jilid 1 Hal 215, Al Mughni Jilid 2 Hal. 291 dan
Kasysyaf Al-Qinaa’ Jilid 2 Hal 56)
Namun jika
diketahuinya kabar terlihat nya hilal pada hari sebelumnya itu masih pagi hari
maka harus dilaksanakan shalat ‘Id hari
itu juga (Hasyiah Syarwani, Jilid III Hal. 55, Fiqhul Islam Jilid II Hal. 368)
Maka
madzhab Maliki berpendapat tidak boleh melaksanakan shalat ‘Id pada keesokan
harinya jika sudah mengetahui kemarin terlihat hilal dan hari ini bisa
melakukan shalat ‘Id, kecuali hal itu terjadi seperti Rasulullah s.a.w. karena
tidak tahu dan tidak memungkinkan melaksanakan shalat ‘Id pada hari itu karena
sudah sore (Al-Qawaaniin Al-Fiqhiyyah hal. 85)
Boleh
Melaksanakan Shalat Yang Sama Dua Kali
Boleh juga
jika melaksanakan shalat ‘Id pada hari ini kemudian melaksanakan lagi shalat
‘Id pada hari berikutnya. Hal ini karena pertama, pada dasarnya shalat ‘Id itu
masih bisa dilakukan selama beberapa hari ke depan. Kedua, karena jangankan
shalat sunnah, shalat fardlu lima waktu pun boleh dilaksanakan beberapa kali
misalkan untuk mendampingi orang lain agar dapat pahala shalat berjamaah. Hal
ini pernah dilakukan pada zaman Rasulullah s.a.w. :
Suatu
ketika Mu’adz pernah shalat Isya berjamaah dengan Rasulullah s.a.w. namun
ketika kembali ke kaumnya ia mengimami lagi shalat berjamaah :
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar berkata, telah menceritakan
kepada kami Ghundar berkata, telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari ‘Amru
berkata, Aku mendengar Jabir bin ‘Abdullah berkata : “Mu’adz bin Jabal pernah
shalat bersama Nabi s.a.w., dia lalu kembali pulang dan mengimami kaumnya
shalat ‘Isya “ (H.R. Bukhari No. 660)
Telah
menceritakan kepada kami Yahya dari Ibnu ‘Ajlan telah menceritakan kepadaku
‘Ubaidulloh Bin Muqsim dari Jabir bin Abdullah “sesungguhnya Muadz Bin Jabal
sholat isya’ bersama Rasulullah s.a.w., kemudian mendatangi kaumnya lalu sholat
menjadi imam mereka sholat isya’ juga”. (H.R. Ahmad No. 13723)
Telah
menceritakan kepada kami Qutaibah telah menceritakan kepada kami Ma’n bin Isa
dari Sa’id bin As-Sa`ib dari Nuh bin Sha’sha’ah dari Yazid bin Amir dia berkata
: Saya pernah datang ke Masjid sementara Nabi s.a.w. dalam keadaan shalat. Saya
lalu duduk dan tidak shalat bersama mereka. Lalu Rasulullah s.a.w. pergi dan
melihat Yazid sedang duduk. Beliau bersabda: “Apakah kamu belum masuk Islam
wahai Yazid.” Dia menjawab; Tentu wahai Rasulullah, saya telah masuk Islam.
Beliau bersabda: “Lalu apa yang menghalangimu untuk shalat bersama jama’ah?”
Dia menjawab; Saya telah shalat di rumahku dan saya menyangka kalian telah
selesai shalat. Maka beliau bersabda: “Apabila kamu datang ke shalat jama’ah,
lalu kamu mendapati orang-orang sedang shalat, maka shalatlah bersama mereka,
meskipun kamu telah shalat, shalatmu itu sebagai nafilah (shalat sunnah)
bagimu, dan yang ini (yang sebelumnya) menjadi yang wajib.” (H.R. Abu Daud No.
489 Ahmad No. 18209)
Telah
menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ibrahim, Duhaim Ad Dimasyqi telah
menceritakan kepada kami Al Walid telah menceritakan kepada kami Al Auza’i
telah menceritakan kepadaku Hassan bin ‘Athiyyah dari Abdurrahman bin Sabith
dari Amru bin Maimun Al Audi dia berkata; Mu’adz bin Jabal mendatangi kami
sebagai utusan Rasulullah s.a.w. Dia (Mu’adz) berkata; Rasulullah s.a.w. pernah
bersabda kepadaku: “Apa yang akan kalian lakukan apabila pemimpin kalian nanti
melaksanakan shalat bukan pada waktunya?” Saya berkata; Apa yang engkau
perintahkan kepadaku apabila aku mendapatinya wahai Rasulullah? Beliau
menjawab: “Shalatlah pada waktunya, dan jadikanlah shalat kamu bersama mereka
sebagai nafilah (tambahan).” (H.R. Abu Daud No. 368 Ad-Darimi No. 1200)
Pada
hadits di atas disebutkan fatwa dari Rasulullah s.a.w. bahwa apabila penduduk
suatu negeri semuanya terlambat shalat tidak tepat pada waktunya, maka shalat
lah sendirian tepat pada waktunya kemudian boleh mengikuti shalat lagi
berjamaah bersama penduduk negeri tersebut dan status shalatnya adalah sebagai
nafilah (shalat sunnah).
Wallahua’lam
SORRY. KALI INI COPAS.
https://seteteshidayah.wordpress.com/2013/08/17/bolehkah-shalat-id-dua-kali/