- Back to Home »
- Mutasyaddid , Pemikiran , Sejarah »
- Cara Pandang Akomodatif
Posted by : Alamin Rayyiis
Rabu, 05 Agustus 2015
Sebelumnya
maaf bila telat dari momen yang seharusnya. Saya tergelitik dengan fenomena bc
tentang Hari Kartini (dan sampai sekarang tidak ada Hari Kartono sebagai
representasi ‘harinya’ para lelaki). Saya tidak ingin membahas tentang konten dan sikap atas Hari
Kartini, yang ingin saya sampaikan adalah bagaimana seharusnya kita menyikapi
wacana-wacana nasionalisme dengan loyalitas terhadap agama Islam. Tema yang
klasik memang.
-Kenapa
Harus Kartini?-
BC atau broad
cast pertama yang bermunculan di media sosial, yaitu tanggal 21 April
sebagai Hari Kartini, berisi tentang sanggahan atas ditetapkannya RA. Kartini
(mungkin juga Harum namanya J) sebagai ikon perempuan yang bangkit melawan
dominasi priyayi plus menggalakan emansipasi wanita dan perlawanan atas
penjajah. Di BC tersebut dikatakan bahwa Kartini tidak seharusnya mendapat
‘perlakuan istimewa’ seperti itu.
Menurut
opini itu Kartini tidak lain hanya seorang perempuan Jawa yang memang sudah
intens menjalin komunikasi terhadap pihak Belanda, dan yang menjadikan Kartini
seolah-olah pahlawan emansipasi wanita tidak lain adalah orang-orang Belanda
sendiri. Kartini diceritakan sebagai inlander yang hanya mengekor
penjajah dengan kemewahan-kemewahannya. Dimunculkannya Kartini tidak lain agar
wanita Indonesia bisa tumbuh seperti wanita-wanita Belanda yang jauh dari agama
Islam, norma dan budaya Indonesia.
-Tidak
Hanya Kartini-
Bisa
dikatakan BC yang lain merupakan tandingan dari opini sebelumnya. Bila sebelumnya
Kartini diopinikan dan didiskreditkan sebagai antek Belanda maka BC tandingan
berikutnya mempunyai konten dukungan terhadap putri Jepara-Rembang tersebut.
Dikatakan bahwa Kartini adalah sosok kritis yang berani terhadap para penguasa
Belanda atau penguasa pribumi, termasuk ayahnya sebagai bupati Jepara. Bahkan
Kartini merupakan murid dari tokoh agama terkenal bernama Kyai Sholeh Darat
(guru Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari). Bahkan beliau meminta kepada Kyai
tersebut agar menerjemahakan al-Fatihah ke bahasa Jawa agar para pribumi bisa
mempelajari al-Quran.
Di sisi
lain tersebutlah nama pejuang-pejuang wanita yang tidak kalah –atau lebih-
dahsyat dengan Kartini. Sebut saja Cut Nyak dien, Cut Nyak Meutia, Teungku
Fakinah, Pocut Meurah Intan, Pocut Baren dan Cutpo Fathimah dan Malahayati di
Aceh , Dewi Sartika di Bandung, Rohana Kudus di Padang, dan Siti Aisyah We
Tenriolle di Sulawesi Selatan dan lain sebagainya. Eh versi sejarah Islam
klasik juga ada lho; Nushaibah, Nailah, Khaulah, Ummu Sulaim dll. ra.
----------
Intinya,
‘Kenapa Harus Kartini’ memberi respon konfontratif sedangkan ‘Tidak Hanya
Kartini’ memberi kesan akomodatif. Respon konfrontatif muncul ketika bentuk
apresiasi tidak merata kepada pihak-pihak yang mempunyai kontribusi yang sama.
Istilah kasarnya adalah perlakuan diskriminatif. Di saat pejuang wanita tidak
hanya seorang, dan bahkan bisa jadi kontribusi perjuangannya melebihi yang
lain, kemudian adanya bentuk apresiasi yang berlebihan ke pihak lain, maka akan
memunculkan sikap di atas.
Apalagi
bila isu kepahlawanan berimbas kepada isu sensitif sektarian, antara Jawa dan Luar Jawa. Kartini
adalah orang jawa, dan banyak pejuang perempuan yang lahir di luar jawa, dimana
intensitas perjuangan dan pemberdayaan masyarakat di luar jawa bisa jadi
mempunyai tantangan yang lebih berat.
Kesan
akomodatif adalah ketika kita tetap menghargai Kartini sebagai tokoh pergerakan
nasional di awal kemerdekaan Indonesia, sekaligus sebagai ikon perempuan yang
memberdayakan kaum wanita agar mendapat hak-hak kemanusiaannya secara sejajar
dengan kaum lelaki (syarat dan ketentuan berlaku, Bro). Di sisi lain,
kita juga harus ingat dan memberikan apresiasi yang sesuai haknya kepada para
pahlawan perempuan sekaligus muslimah-muslimah yang juga telah bertetes
keringat dan berkucur darah. Mereka adalah perempuan-perempuan hebat yang bila
tidak mendapatkan tempat yang layak dalam pembelajaran nasionalisme dan sejarah
Indonesia, bisa jadi kita tidak akan mengenal wanita Indonesia selain Kartini.
Itu kenapa
tulisan-tulisan dengan cara pandang akomodatif sebenarnya mewakili cara pikir
yang moderat dan integral. Dan ini seharusnya dijadikan pijakan dalam memaknai
dan menjalankan roda pergerakan yang heterogen. Jangan terlalu mudah menafikan
kontribusi orang lain yang memang benar-benar sudah berkontribusi hanya karena
ingin kontribusi pihak lain diakui. Dan sebagai ‘penguasa’ atau para pemegang
kendali di lini manapun, seharusnya tahu diri agar kontribusi orang lain tidak
dikebiri atau sengaja untuk dilupakan.
Dan ini
penting agar pembangunan negara tidak lagi tercerai-berai, terkotak-kotak
antara nasionalisme dan agama. Cara pandang yang akomodatif, integral dan
moderat mengharuskan siapa saja yang ingin merawat Indonesia agar merangkul
semua pihak dengan latar belakang yang ada. Dan sekali lagi, syarat dan
ketentuan berlaku.
#penulis:
mahasiswa ushuludin yang bukan sejarawan
#link
tambahan
1. Tiar Anwar Bahtiar, MA, “Mengapa Harus
Kartini?”, di: http://republika.co.id/koran/155/42947/Mengapa_Harus_Kartini
2. Widi Astuti, Tak Hanya Kartini, di : http://serbasejarah.wordpress.com/2013/04/08/tak-hanya-kartini/
3. http://www.kompasiana.com/pakcah/terlalu-banyak-pahlawan-perempuan-bukan-hanya-kartini_54f78de4a33311747a8b4721
Sumber Tambahan:
http://id.wikipedia.org/wiki/Rohana_Kudus
http://strategi-militer.blogspot.com/2012/07/laksamana-malahayati-adalah-laksamana.html
http://lenteratimur.com/we-tenri-olle-ratu-cendekia-dari-tanete/
http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/295-pahlawan/657-dewi-pendidikan-dari-cicalengka
sangat menarik sekali....
BalasHapus