- Back to Home »
- Demokrasi , Politik »
- Blurring Opinion
Posted by : Alamin Rayyiis
Selasa, 04 Agustus 2015
Beberapa waktu yang lalu lagi-lagi
kita dihebohkan dengan isu sunni-syi’ah. Dari tragedi penyerangan masjid
adz-Dzikra asuhan Ust. Arifin Ilham, berkumpulnya tokoh-tokoh Syi’ah di PDIP
dan partai politik lainnya, mencuatnya kembali migrasi syi’ah sampang ke
kampung halaman atau pemberitaan internasional tentang syi’ah Houtsi yang
mengkudeta pemerintah sah Yaman. Syiah masih menjadi hot issue bagi kaum
cendekiawan yang akhirnya merambah ke kaum grass root.
Semua fenomena tersebut dengan
mudahnya terdokumentasikan secara massif oleh media-media cetak maupun
elektronik, ditambah lagi akses media sosial ‘dengan segala opini dan komennya’
yang kadang efeknya lebih wah dari media-media formal sebelumnya, bahkan
mengalahkan press release resmi sebuah institusi. Arus informasi pun tidak lagi
terkontrol. Semua orang dengan varian umur dan jenjang pendidikan serta semua
pihak yang berkekepentingan mempunyai akses yang sangat mudah dan terkesan liberal dalam meng-input atau meng-output
sebuah berita, dalam mengkonsumsi untuk diri sendiri dan sekaligus menjejalkan
informasi ke orang/pihak lain.
Tidak salah kalau domain
kajian filsafat di era post-modernisme adalah teks; dan segala produk
turunannya.
Di luar isu Syi’ah ada isu
partai Islam, AKP Turki dan partai sekuler, Israel vs Palestina, demo
anti-kudeta Mesir dan isu kelompok-kelompok lain yang, dalam setiap wacananya
mengundang pro dan kontra dan akhirnya secara sporadis meniscayakan para
simpatisan untuk mendukung atau melawan pihak-pihak tersebut di atas. Artinya,
setiap wacana yang mengandung perspektif yang berlawanan akan selalu laku untuk
diperjualbelikan.
Kami katakan
‘pengkaburan’ bukan ‘penyeseatan’ opini
karena wacana yang dibangun oleh kelompok tersebut pada awalnya tidak langsung
menawarkan antitesa atau pembelaan mutlak terhadap isu yang dikembangkan. Contoh
isu syi’ah sesat, dalam pengkaburan opini, pemberitaan yang digalakkan oleh
pembelanya tidak langsung mengatakan syi’ah tidak sesat, syi’ah tidak menghina
sahabat, tidak kufur terhadap al-Quran dll.
Golongan tertuduh tidak akan
serta merta menjawab tuduhan-tuduhan dari lawan secara cadas, frontal dan
vulgar. Mereka cukup tahu diri dan menyadari bahwa apa yang selama ini
dituduhkan sebenarnya adalah kebenaran, orang-orang yang menjadi suspect ini
sebenarnya sadar dan tahu itu semua. Maka sikap mereka tidak ingin lagi
menutup-nutupi karena saking jelasnya tuduhan tersebut, tapi tidak juga
mengakui. Yang tersisa dari mereka untuk dilakukan adalah, mengalihkan wacana
kemudian mengaburkannya dan setelah itu tuduhan tersebut terbantahkan dengan
sendirinya. Dan mereka menang.
Bagaimana mereka
mengaburkannya? Pertama, dengan cover oneside; mereka akan memblow up
sisi positif kelompok mereka, entah benar-benar positif atau sebatas
pencitraan, dalam kasus Syi’ah mereka akan munculkan sekte Zaidiyah yang memang
berdekatan dengan Sunni, sekalipun oleh seorang teman yang asli Yaman
mengatakan bahwa Zaidiyyah sendiri tidak dianggap oleh mayoritas Syi’ah sebagai
bagiannya. Atau memunculkan pencitraan Syi’ah yang kontra Amerika. Mereka akan
memunculkan nilai positif yang tidak mendasar untuk menutupi grand design
mereka yang lebih destruktif.
Kedua, dengan fals flag
atau operasi palsu, yaitu pola konspirasi jadul yang selalu terulang oleh
rezim-rezim otoriter atau diktator, dan ternyata ampuh. Contohnya adalah
tragedi 11/9, operasi palsu militer yang beroposisi dengan Erdogan atau media
Obor Rakyat yang sangat mendiskriditkan Jokowi. Kekacauan-kekacauan tersebut ‘dicitrakan’
seolah-olah dilakukan oleh musuh agar mereka memiliki legitimasi untuk
memberangus dengan perlakuan yang lebih keras. Disamping itu mereka juga
mendapat bonus gratis berupa simpati masyarakat awam yang terkelabui dengan
konspirasi tersebut.
Ketiga, dengan cara
memanfaatkan blunder. Blurring opinion atau pengaburan wacana erat
kaitannya dengan media sosial dan pers. Seperti yang kita rasakan, pemberitaan
di media sosial atau bahkan pers elektronik dan cetak sekalipun dengan mudahnya
memanipulasi informasi. Dan ternyata langkah ini diikuti oleh ‘kalangan kita’,
ikut-ikutan menebarkan informasi yang tidak valid. Sembari tidak sadar bahwa
informasi yang tidak valid tadi terkadang sengaja dihembuskan oleh pihak lawan dan
kemudian digunakan untuk memukul mundur orang-orang yang menyebarkan informasi
tadi, dan itu kita, kita pun lagi-lagi kalah menghadapi perang pemikiran dan
sirkulasi informasi yang telah dikuasai oleh mereka.
Note:
Penulis adalah lulusan fakultas
ushuludin dan bukanJurnalis J