- Back to Home »
- Ruhaniyat , Ulumul Quran »
- Semangat Hidup Bersama al-Quran
Posted by : Alamin Rayyiis
Kamis, 12 Maret 2015
Awal dakwah Rasulullah saw. adalah periode
merintis pengentasan zaman gelapnya jahiliyah menuju era penuh kerlip cahaya,
merintis dakwah bukanlah hal yang mudah, ibarat menolong orang yang sudah
terkatung di pinggir jurang, perlu kekuatan penuh untuk mengangkatnya dan di
saat yang sama nyawanya juga terancam ikut jatuh ke dalam. Kafir Quraisy adalah
orang-orang yang terjerembab dalam lumpur kebodohan, tapi mereka tidak merasa.
Seperti inilah tantangan dakwah Rasulullah, dan seperti itulah tantangan dakwah
semua utusan Allah.
Di beberapa riwayat Asbabun Nuzul surat
ad-Dhuha karangan Imam Suyuthi mengisahkan bahwa, kesedihan Rasulullah sesaat
muncul ketika wahyu Allah yang biasa dibawa oleh Jibril ‘terlambat’ datang
kepadanya. Wahyu bagi Nabi ibarat tongkat penyangga saat penat melanda, wajar
apabila dua hingga tiga hari Rasulullah tidak terlihat bangun di malam hari, kegundahan
dirasakan lantaran seolah-olah beliau ditinggal oleh Jibril yang selalu
membersamainya. Dan kondisi itu justru menjadi bahan hinaan oleh kafir Quraisy
kepada Muhammad saw., bahkan mengatai-ngatai dengan “‘setan’nya Muhammad telah
meninggalkannya”. Padahal tidak demikian, sehingga setelah Allah bersumpah
menegaskan bahwa “Tuhanmu tidak meninggalkanmu dan tidak pula membencimu”. Dan
di tengah rasa galau seperti itu, Allah mengakhiri surat tersebut dengan
janji-janji kenikmatan yang dianugrahkan kepada kaum muslimin.
‘Amul Huzn’ adalah tahun kesedihan bagi
Rasulullah, dimana di tahun itu beliau ditinggal oleh paman dan istrinya
tercinta. Bukan tanpa alasan kenapa sebuah tahun di kehidupan Rasulullah
mendapatkan istilah seperti itu, mengingat peran kedua orang tercinta
Rasulullah saw. adalah orang-orang yang pasang badan dalam membentengi beliau.
Abu Thalib adalah penguat Muhammad saw. dari desakan orang-orang luar,
sedangkan Khadijah as. adalah penyelimut beliau saat Rasulullah berbagi keluh
kesah. Dan sesaat keduanya meninggal. Setelah itu semua, datanglah Allah
menghibur kekasihnya. Rasulullah melakukan safari rohani dari Masjidil Haram ke
Masjidil Aqsha, kemudian darinya bertolak ke Arsy bersama Jibril.
Bila lemah semangat dalam hidup karena
kesedihan atas hilangnya sesuatu yang kita cintai maka, Allah akan memberikan
balasan yang lebih mulia bagi hambanya yang bersabar dan bertakwa. Bila lemah
semangat dalam hidup karena kemalasan dan enggan untuk beramal maka,
sesungguhnya setan sedang menjadikan masa-masa itu sebagai kenikmatan dan
ketenangan semu belaka. Mari kita mendeteksi jiwa-jiwa kita bila sedang dilanda
futur, apakah karena sedih atau memang karena malas? Sedih menunjukan adanya
sifat rahmah atau kasih sayang dalam diri manusia, dan itu baik,
masih ada kemungkinan membalikan kesedihan menjadi harapan kepada Allah swt.
Tapi malas mengindikasikan bahwa jiwa kita sedang digerogoti oleh virus-virus
setan, lemah semangat seperti inilah yang sejatinya memasuki level kronis.
“Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang
Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya
tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir" (Yusuf:
87)
Mari berkaca kepada sosok Ya’qub as.,
seorang Nabi bagi kaum Yahudi sekaligus seorang Ayah bagi ke-12 anak-anaknya.
Yusuf dan Bunyamin adalah dua anak yang berbakti kepadanya, sedangkan 10
saudara lainnya adalah para pembangkang
yang sering menipu kedua orangtuanya. Kehilangan kedua anak yang berbakti
merupakan pukulan psikologis yang luar biasa, sampai Nabi Ya’qub meratap sedih
atas kehilangan Yusuf hingga kedua mata beliau menjadi putih dan tidak mempunyai pandangan yang
jelas.
Namun begitu, Ya’qub as. tetap bersikukuh
untuk mencari Yusuf dan mencari Bunyamin yang lagi-lagi tersandera karena ‘ulah’
saudara-saudara mereka. Tersakiti oleh anak sendiri dan kehilangan Yusuf sosok
penerus misi ilahi membuat jiwa Ya’qub
begitu haru. Tapi lihatlah, dia sama sekali tidak kehilangan asa untuk mencari.
Tidak mudah kehilangan harap, bahwa suatu hari nanti ia akan kembali bertemu
dengan anak kesayangannya, terlebih Allah menguatkannya dengan mimpi. Di
usia yang setua itu, saat jasad mulai
melemah, tapi tidak lantas membuat ruh dan spiritnya mati begitu saja.
Dengan yakin, ia menyeru kepada
anak-anaknya ‘Jangan kalian berputus asa, karena tidak ada orang yang
berputus asa melainkan ia berada dalam kekafiran’. Sedemikian kerasnya
peringatan yang disampaikan, berputus asa bisa menggiring dalam kekufuran,
karena sejatinya orang berputus asa adalah orang yang mendahului takdir dan
kekuasaan Allah. Karena Allah yang menentukan akhir dari segala usaha dan
prasangka, ketika seorang hamba telah memutuskan untuk tidak berusaha dan mati
dalam semangat untuk menggapai citanya, maka hamba tersebut telah menetapkan
sesuatu yang bisa jadi Allah tidak berkenan terhadapnya.
Janganlah
kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah
orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang
beriman. (Ali Imran: 139)
Semangat dalam hidup berbanding lurus
dengan keimanan seorang hamba. Secara literal dan tersurat, larangan agar
menghindari lemah semangat ternyata langsung datang dari Allah. Dan itu terkait
langsung dengan status keimanan, dalam sudut pandang penulis, hal itu bukan
berarti ketika seseorang tertimpa futur atau kesedihan lantas mengeluarkannya
dari keimanan secara 100% alias menjadi kafir. Yang kami pahami adalah,
keimanan seseorang akan tergerus sedikit demi sedikit, semakin sering dan
semakin dalam seseorang tertimpa musibah futur dan sedih secara berlarut, maka
tingkatan keimanan yang sudah lama dibangun akan roboh sedikit demi sedikit. Wal’iyâdzu
billâh.
Menjaga semangat hati (penulis sebenarnya
cenderung membahasakannya sebagai jantung) agar senantiasa hidup. Bagaimana
membuat hati selalu hidup? Munculkan sensitifitas. Diam atau gerak hati
tergantung bagaimana kita merespon sekeliling kita, menanggapi kejadian di
lingkungan, kata-kata yang kita dengar atau aktifitas abstrak yang kita rasa.
Ketika kita ngeh dengan keadaan sekitar maka sebenarnya hati kita sedang
hidup, tentunya setelah itu diikuti dengan tadabur-tadabur, mengambil hikmah dan pelajaran dari sebuah kejadian.
Hikmah adalah sumber kekuatan bagi hati untuk senantiasa hidup, darinyalah
manusia menjalankan saraf-saraf anggota tubuh untuk bergerak, berkata,
mendengar atau melihat. Jangan terbiasa dengan sikap yang nihil atau netral,
karena bila muara semuara perkara adalah baik dan buruk, maka netral adalah
adalah sikap yang buruk. Selalu tumbuhkan rasa simpati dan empati terhadap
sesama, selalu bersyukur atas nikmat Sang Pencipta, dari itu semua mari kita
bergerak dan menggerakan jiwa untuk selalu berkobar dan bermanfaat bagi
manusia. Allahumma Âmîn.