- Back to Home »
- Ruhaniyat »
- Sumpah Kebaikan dan Perbaikan
Posted by : Alamin Rayyiis
Minggu, 16 November 2014
“No
Body Perfect” Tidak ada manusia yang sempurna. Kata mutiara itu saya dapatkan
di buku tulis Sinar Dunia sekian tahun yang lalu saat saya masih duduk di bangku
Sekolah Dasar. Setelah melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah, tema yang sama
dengan hal itu saya dapatkan dengan versi bahasa Arab, al-insânu mahallul
khatha’ wan nisyân – Manusia itu tempatnya salah dan khilaf. Akan tetapi,
apakah lantas orang bijak atau bahkan Rasulullah saw. sendiri bermaksud untuk
menafikan sisi kebaikan manusia? Apakah lantas tidak sempurna, salah dan khilaf
satu-satunya dimensi yang mendominasi manusia sehingga menyulitkannya untuk menjadi
lebih baik dan meraih kesempurnaan? Sama sekali tidak.
Menjadi
lebih baik. Kenapa harus Baik? Karena kebaikan adalah kewajiban. Kenapa harus Lebih
Baik? Karena kebaikan itu bertingkat-tingkat. Seperti iman yang bidh’un wa
sab’ûn syu’batan, bahkan semua yang sifatnya abstraksi dan wilayah
aktifitas hati, semuanya mempunyai tingkatan yang berbeda, dan semuanya
memungkinkan terkena fluktuasi antara futur dan hamasah di setiap
maqamnya. Tak terbayang ketika keimanan Abu Bakr ternyata lebih berat ketika
ditimbang dengan keimanan umat Muhammad, tak terbayang ketika rasa malu Utsman
dinyatakan lebih dari sahabat lainnya, atau kedermawanan Abdurrahman bin Auf,
wara’ dan kezuhudan Abu Dzar al-Ghifary yang lebih menonjol dari sahabat lain,
keberanian Umar dan Khalid dalam peperangan, sekaligus kecerdasan Ali Si Babul
Ilmi. Kesemuanya dilahirkan dari perbaikan-perbaikan yang selalu diburu oleh
mereka, kebaikan yang selalu ditingkatkan di maqam yang sesuai dengan kata hati
dan kondisi mereka.
Bila
kita menyimak surat at-Tin ayat 1-4, “Demi buah Tin dan buah
Zaitun. Dan demi bukit Sinai. Dan demi kota Makkah yang aman ini. Sesungguhnya
Kami telah menciptkan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. Maka
sebenarnya, sejak awal Allah swt. menciptakan manusia, Dia sudah memberi modal
terlengkap dan terbaik untuk dibawa mengarungi bahtera kehidupan dunia, yaitu
ketika berpindah dari rahim ummi menuju fananya bumi. Ketika kita
mengakui bahwa Yang Mahamencipta telah memberi kita hidup, maka konsekuensi
logis dari itu adalah mengakui juga bahwa Allah telah menyiapkan grand
design bagi manusia untuk melalui episode kehidupan di bumi. Modal yang
diberikan melingkupi apa saja yang berkaitan dengan ruh dan jasad, lahir dan
batin serta dunia maupun akhirat.
Ahsanu
taqwîm dalam ayat di atas mempunyai dua variable utama yaitu, ahsan mempunyai
arti lebih baik atau paling baik (ism tafdhil). Sedangkan taqwîm mempunyai
arti bentuk atau kualitas, berasal dari kata kerja qawwama , dan qîmah
sendiri mempunyai arti kualitas. Bila kita pahami secara bahasa maka
manusia dengan model ahsanu taqwîm adalah manusia yang mempunyai
syarat-syarat kebaikan dalam bentuk dhahir maupun kualitas batin. Penciptaan
Allah terbaik dalam ‘bentuk’ dibuktikan dengan keindahan panca indra yang telah
Allah anugrahkan kepada manusia sehingga kita mengenal dan mengagumi arti
keindahan, cantik, anggun, biru laut, senja yang jingga dan lain sebagainya.
Sedangkan penciptaan Allah terbaik dalam ‘kualitas’ dibuktikan dengan adanya
sifat-sifat ruhani dalam diri manusia, sehingga kita mengenal kasih
sayang, kesabaran, ketenangan jiwa, cinta dan bahkan kecerdasan nalar dan
logika. Secara tidak langsung, kebaikan ruh dan jasad tersebut merupakan modal
utama yang menuntun manusia demi menggapai ibtighaul âkhirah dan nashîb
min ad-dunya.
Tidakkah
kita sadar, bahwa bumi seisinya dan akhirat dengan surganya telah dijanjikan
bagi mereka yang berburu butir-butir kebaikan, kebaikan yang tercecer dan
tersebar di setiap tempat dan waktu manusia menghela nafasnya. Butir kebaikan
tersebut bisa berbentuk apa saja; lidah yang bertasbih saat mata melihat
keindahan warna-warni bunga, kornea yang meneteskan air mata saat mendengar
lantunan suci kalam ilahi, hati yang bergetar saat mendengar asmaul husna,
tangan kanan yang menyedekahkan harta tanpa terlihat oleh kirinya atau bahkan
sekedar membuang kerikil di tengah jalan beraspal. Allah telah, sedang dan
selalu memberi kita modal untuk berburu ladang pahala, dan dengannya manusia
benar-benar bisa menjaga titel Ahsanu Taqwim yang telah disematkan
oleh-Nya.
Bahwa
manusia tidak sempurna serta tempat salah dan khilaf, bukan merupakan alasan
undur diri dari kompetisi fastabiqul khairat. Tidak semua manusia
bernasib sama, sebagian terlahir dengan Ayah Ibu yang mengajarkan al-Quran
kepada anaknya, sebagian lainnya terlahir dengan cacat keimanan sejak ia keluar
dari rahim ibunya. Meniru parodi Bill Gates, “Bukan salahmu bila terlahir
sebagai kafir, salahmu adalah ketika kau mati dan keimanan belum di hati.” Yang
diperlukan bagi mereka adalah istiqamah dalam melakukan perbaikan, terus
mencari sumber cahaya ilahi, karena usaha dan berubah menjadi baik adalah hak
semua umat manusia. Bukankah Allah telah memberi ilham tentang bagaimana metamorfosis
ulat menjadi kupu-kupu, kenakalan balita menjadi kebijakan orang tua, dan
bahkan Umar bin Khathab Singa Jahiliyah menjadi Umar al-Faruq Sang Khalifah.
Masih
bersama al-Quran, kitab suci yang selalu menginspirasi perbaikan. Al-Insyiqaq:
16-19 : “Maka Sesungguhnya Aku bersumpah
dengan cahaya merah di waktu senja. Dan dengan malam dan apa yang
diselubunginya. Dan dengan bulan apabila jadi purnama. Sesungguhnya kamu
melalui tingkat demi tingkat.” Thobaqun ‘an thobaq; tingkat demi
tingkat. Beberapa mufasir memahaminya sebagai tingkatan penciptaan manusia yang
dilahirkan dari mani, gumpalan darah, gumpalan daging, tulang yang berbalut
daging dan akhirnya menjadi manusia, sosok makhluk yang diciptakan sempurna.
Mari mengheningkan cipta, setetes mani hina menjadi sosok makhluk mulia. Hikmah
yang tersirat dari ayat tersebut adalah, ketika manusia sadar akan kehinaan dan
kekurangannya dan ia selalu mengikisnya dengan taubat dan perbaikan maka, tidak
mustahil ia akan menjelma menjadi sosok yang mulia.
Bila
ingin tahu seberapa jauh Allah memotivasi kita untuk meraih kemajuan dan
perbaikan serta menghindari stagnasi dalam pergerakan, tengoklah surat yang
ditujukan untuk Orang Yang Berselimut (Al-Muddatsir: 32-37),
berselimutkan zona nyaman, berselimutkan ketakutan atau keragu-raguan, berselimutkan
rasa bersalah atau faktor penghambat perbaikan lainnya. Janganlah kesalahan dan
dosa yang telah lampau menghalangi laku esok yang lebih baik. Mulailah bergerak
dan jemputlah benih kebaikan, rajutlah benang-benang keberkahan, jadikanlah ia
kafan suci yang membalutmu saat ajal
menjelang.