- Back to Home »
- Ruhaniyat »
- Mereka Yang Tak Pernah Puas
Posted by : Alamin Rayyiis
Minggu, 16 November 2014
“Barangsiapa
yang hari ini lebih baik dari hari kemarin maka beruntunglah ia. Barangsiapa
yang hari ini sama dengan hari kemarin maka rugilah ia. Barangsiapa yang hari
ini lebih buruk dari kemarin maka terlaknatlah ia.” (Kata Mutiara)
Sahabat
Miskin dan Sahabat Kaya, keduanya ‘berseteru’ untuk berlomba menjadi yang
terbaik. Sahabat Miskin mendatangi Rasulullah dan mengadu bahwa para Sahabat
Kaya telah mendahului mereka dalam beramal, karena Sahabat Kaya berpuasa
layaknya mereka berpuasa, sholat layaknya mereka sholat dan mereka mengamalkan
kewajiban-kewajiban seperti semuanya. Rasulullah menghibur mereka dan berkata
bahwa, sedekah tidak hanya dengan uang, bersedekahlah dengan tasbih, takbir, tahmid, tahlil
dan dzikir-dzikir kepada Allah swt. setiap setelah sholat, para Sahabat Miskin
pulang dengan penuh kebanggan, merasa bahwa mereka telah menemukan kunci untuk
menandingi Sahabat Kaya.
Waktu
berselang, ternyata Sahabat Miskin datang kembali menemui Rasulullah mengadukan
hal serupa, karena Sahabat Kaya disamping mereka puasa dan sholat seperti
lainnya, mereka juga menyedekahkan harta dan mereka juga melakukan
dzikir-dzikir serupa yang telah diajarkan oleh Rasulullah kepada mereka. Dengan
bijak Rasul pun berkata “Itu adalah karunia Allah yang diberikan kepada
siapapun yang dikehendaki-Nya”. Sahabat Miskin merasa tingkat kebaikan mereka
masih di bawah Sahabat Kaya, sekalipun sama-sama sholat, puasa dan dzikir
kepada Allah, mereka diunggulkan dengan kekayaan harta, namun begitu hanya
Allah lah yang tahu tentang niat baik para hambanya. Syaikh Utsaimin berkata
bahwa sesungguhnya Sahabat Miskin juga mempunyai pahala yang sama dengan Sahabat
Kaya, yaitu ‘pahala niat’ untuk menyedekahkan hartanya yang memang belum punya.
Suatu
ketika 3 orang sahabat datang menemui Aisyah ra., mereka hendak mencari tahu
amalan apa yang dikerjakan Rasulullah saw., mereka mengira bahwa semua amalan
yang diajarkan Rasul hanya biasa-biasa saja, mereka ingin lebih dari sekedar
sholat 5 waktu, lebih dari sekedar puasa biasa atau bahkan tidak menginginkan
wanita. Karena itu sahabat pertama berjanji untuk sholat tahajud selamanya,
sahabat kedua berjanji untuk puasa selamanya, sahabat ketiga berjanji untuk
tidak menikahi wanita. Menjadi sahabat saja sebenarnya sudah merupakan anugerah
terindah, karena ia adalah generasi pertama yang distampel oleh Rasulullah
sebagai khairul qurûn. Akan tetapi predikat tersebut belum meredakan
keinginan mereka untuk menjadi pribadi yang lebih baik, mereka ingin di luar
kebiasaan para sahabat lainnya.
Hingga
pada akhirnya Rasulullah mendengar pernyataan tersebut dan menegur agar ibadah
mereka tidak melupakan hak-hak tubuh lainnya, berpuasalah dengan sahur dan
buka, sholatlah tahajud dengan diawali tidur malam hari, dan menikahlah dengan
wanita. Sekalipun praktek ibadah mereka dilarang karena intensitasnya yang
ekstrim, tapi yang perlu kita perhatikan dan dijadikan muhasabah adalah
keinginan mereka untuk meraih derajat yang lebih baik, maqam yang lebih tinggi,
sekalipun tentunya semua hal itu perlu dilakukan dengan keikhlasan dan tuntunan
Nabi.
Ingatkah
anda tentang seorang legenda pembunuh yang brutal. Di tangannya telah genap mati
99 orang. Entah angin apa yang membuatnya ingin berhenti dari perbuatan keji,
tiba-tiba saja ia ingin mencari jawaban kegalauan, naluri mengatakan bahwa
membunuh adalah perbuatan yang kejam, dan memang benar, tangannya sudah
menyebabkan banyak nyawa melayang. Dia pun mencari seorang alim untuk ditanya
apakah bisa manusia lumpur seperti dia mendapat ampunan dari dosa besar yang
telah ia lakukan, si alim menjawab tidak, merasa mendapat jawaban yang
menyudutkan pembunuh tersebut menggenapkan kejahatannya dengan menghunus pedang
hingga si alim meninggal. Dan genaplah 100 nyawa melayang.
Anehnya, ia tidak berhenti sampai di situ,
entah naluri apa yang menuntunnya untuk tetap mencari sosok alim lain yang
menuntunnya untuk bertaubat. Bertemula ia dengan orang alim kedua, si alim
berkata bahwa taubatnya akan diterima tapi dengan syarat harus menjauhkan diri
dari lingkungan yang selama ini ia tinggali. Karena si alim tahu bahwa, niat
yang kuat untuk memperbaiki diri tidak hanya bermodal kekuatan hati, -terlebih
bagi jiwa si pembunuh yang memang masih rapuh- membersihkan hati dan
memperbaiki diri membutuhkan lingkungan yang dengannya sebutir biji kebaikan bisa
disemai dan disirami dengan nuansa rohani. Si pembunuh meninggalkan kota
bejatnya menuju kota impian untuk memperbaiki semua kesalahan, di tengah
perjalanan ia meninggal dan Allah berkenan untuk menerima pertaubatannya.
Bagi
jiwa yang terbelenggu nafsu, pikiran yang tersesatkan dan diri manusia yang
penuh dengan kekotoran, janganlah putus asa untuk selalu mencari jalan
perbaikan. “Dan ingatlah Allah ketika Ia memberimu petunjuk, sekalipun dahulunya
kamu termasuk orang-orang yang tersesat” (al-Baqarah:198). Seolah-olah
pembunuh berdarah dingin tadi sudah lebih dahulu tersentuh dengan ayat ini,
kesesatannya tidak menghalangi untuk mencari jalan kebaikan kembali. Maka,
bagaimana dengan kita yang –semoga saja- tidak pernah melakukan dosa-dosa
besar? Sudahkah kita berburu jalan untuk selalu meng-upgrade keimanan? Masihkah
bobot syahadat yang kita baca di waktu balita sama dengan bobot sayahdat di
waktu tua? Semakin umur kita berkurang semoga justru menuntun pada bertambahnya
level kebaikan.
(Bagian ini tidak usah disertakan, karena over carachter)
Ada kisah menarik dari seorang sahabat Rasulullah saw., suatu
ketika Nabi Agung Muhammad saw. berkunjung ke salah seorang sahabat untuk
silaturahim. Maka, sebagaimana yang beliau ajarkan, iapun mengetuk pintu
sahabat tersebut dan mulailah beliau mengucapkan salam ‘assalamualaikum wa
rahmatullahi wa barakatuh’, salam pertama sudah terucap tapi dari dalam
rumah tidak ada tanda-tanda jawabannya. Salam kedua dari Rasulullah pun terucap
lagi, tapi untuk kedua kalinya sahabat yang ada di dalam rumah belum juga
menjawabnya. Salam ketiga telah disampaikan, hal yang sama pun terulang, nihil
tidak ada jawaban. Dan sesuai dengan ajarannya, bila tiga salam tidak ada
jawaban maka hendaknya orang yang bertamu pulang, itulah etika masyarakat
madani yang diajarkan. Rasulullah melangkah kaki berbalik menuju kediamannya.
Tapak tilas beliau melangkah dengan penuh ketenganan, hingga
akhirnya suara dari belakang mengejutkan dan berbaliklah Rasulullah ke rumah
sahabat yang baru saja ia tinggalkan. “Kemarilah wahai Rasulullah…”. Rasul pun
mendekat dan bertanya kepada sahabat tentang salamnya yang tidak dijawab,
bahkan sampai tiga kali dan hingga beliau beranjak meninggalkan rumahnya.
Sahabat pun menjawab bahwa, sebenarnya ia mendengar dan tahu bahwa Rasulullah
lah yang datang, dan justru kedatangan Rasulullah itulah yang membuatnya enggan
menjawabnya secara langsung. Apa gerangan? Dengan penuh kehati-hatian sahabat
mengutarakan “Karena aku ingin mendengar ungkapan keselamatan darimu kepadaku, aku
tidak rela hanya diberi satu salam saja, oleh karena itu aku membiarkanmu
mengucapkannya hingga salam ketiga, karena aku menginginkan keberkahan yang
lebih darimu wahai Baginda.”