- Back to Home »
- Ruhaniyat »
- Kesungguhan Mengalahkan Ketidaksempurnaan
Posted by : Alamin Rayyiis
Sabtu, 27 September 2014
Seorang ustadz muda dengan semangat
memasuki ruang kelas 1 Pondok Madani, spontan saja anak-anak terkejut lantaran mereka melihatnya membawa golok dan kayu, dari kejauhan golok dengan panjang 60-70
cm mempunyai kesan garang dan angkuh, sedangkan kayu yang berdiameter 7-8 cm
dan berbentuk lurus memberi kesan kayu yang kokoh dan kuat sebagaimana
dipaparkan oleh ustadz sendiri. Siswa baru tersebut tercengang dengan gelagat
guru baru dengan mata pelajaran baru; mahfudzot (kata-kata mutiara). Seharusnya
yang pertama kali ia tampakkan adalah absen, penggaris, buku diktat dan
lain-lain, tapi sang guru membawa perkakas berupa golok dan kayu.
Sang Guru pun memulai pelajaran, “Kalian
tahu bahwa golok tumpul sekalipun bisa mematahkan kayu sebesar ini”. Siswa baru
yang masih lugu hanya terdiam, antara tegang, fokus atau tercengang. “Tidak
semua dari kita mempunyai modal berupa golok baja nan tajam, tidak semua dari
kita terdidik sejak bayi dengan kecerdasan yang sempurna, harta melimpah atau
faktor sukses lainnya.” Sejurus setelah itu golok diayunkan dengan kencang,
berkali dan bertubi, kayu diputar agar semua sisinya benar-benar terhantam tumpulnya
golok, pelan tapi pasti, dibarengi keringat guru yang terus menetes… “Crack”,
kayu terputus menjadi dua, dan sang guru mengusap dahinya dengan bangga.
“Kesungguhan bisa mengalahkan kuatnya kayu dan tumpulnya golok. Kesungguhan
meniscayakan kesuksesan, bahkan dari ketidaksempurnaan”.
MAN JADDA WAJADA; barang siapa
bersungguh-sungguh maka dapatlah ia. Penulis sendiri sempat merasakan pelajaran
pertama dari mahfudzot tersebut; tentang kesungguhan. Diawali dengan teriakan
di dalam kelas, guru kami mengkomandoi secara bersahut-sahutan, apalagi saat
ruang kelas yang berada di lokal berbeda juga mengajarkan judul yang sama.
Bukan sekali sang guru menyuruh kami untuk berteriak agar tembok kelas
bergemuruh dan bergetar. Kami sadar suara santri baru di satu kelas tidak akan
bisa menggetarkan tembok layaknya gempa, tapi efek domino dari semangat dan
kesungguhan yang ditransfer menghipnotis kami untuk selalu berteriak. Teriakan
adalah tanda kesungguhan.
Dasrath Manjhi – The Mountain Man. Berawal
dari sakit yang menimpa istri dan kemudian hendak mengantarnya ke rumah sakit
terdekat, tapi nahas karena sang istri meninggal di tengah jalan, hal itu
karena jarak yang seharusnya hanya 2 Km terhalang bukit sehingga ia harus
berputar belasan kilometer. Sejak saat itu ia bertekad untuk membelah gunung
agar bisa dijadikan jalan bagi penduduk di lingkungannya, ia sadar makna
kehilangan, oleh karena itu ia menjelmakan kehilangannya berupa kesungguhan,
sendiri dan tanpa alat berat Dasrath Manjhi selama 20-22 tahun mencurahkan
waktu untuk membelah bukit setinggi 360 kaki, lebar 30 kaki dan sepanjang 1 Km.
Kita mengenal seorang legenda dalam ilmu
hadis secara periwayatan (riwayah) maupun secara metode keilmuan (dirayah),
beliau adalah Ibnu Hajar al-Asqalani. Bukan tanpa alasan ulama kita dahulu
mempunyai kunyah atau julukan yang penisbatannya didasarkan dengan fenomena
alam atau kehidupan. Nama asli beliau
adalah Ahmad bin Ali bin Muhammad, sebelumnya Ahmad kecil adalah siswa yang
secara kecerdasan masih tertinggal di antara teman-teman di sekolah, hingga
suatu ketika ia pulang dari sekolah dan melewati sebuah gua batu, ia perhatikan
bagaimana sedikit tapi pasti, berkelanjutan dan konsisten, air yang hanya
berbentuk tetesan tersebut mampu melubangi kerasnya batu.
Fenomena batu yang tertembus air itulah
yang kelak menjadi cambuk kesungguhan bagi beliau, ia bangga dengan
disematkannya laqab ‘Ibnu Hajar’ atau Si Anak Batu, kondisi keluarga
yang kurang beruntung dan menjadi anak yatim sejak 4 tahun mungkin bukan modal
yang menguntungkan untuk pertumbuhan seseorang, ia buntu laksana batu. Tapi dia
paham bahwa kesungguhan air membuat kerasnya batu ikut mencair. Dengan semangat
yang menggebu, kesungguhan dan keinginan yang kuat Ahmad kecil menjelma menjadi
Ibnu Hajar yang menginspirasi umat manusia, tercatat 270 lebih judul buku yang
beliau lahirkan.
Setelah kita menemukan momen kesungguhan
maka, langkah selanjutnya adalah ‘bagaimana’ dan ‘untuk apa’ kesungguhan kita?
Wa idzâ ‘azamta fatawakkal ‘alalLâhi
– Dan bila kamu mempunyai keinginan yang kuat maka bertawakkallah kepada Allah. Kesungguhan adalah dimensi yang sama dengan keinginan
yang kuat, banyak orang mengira bahwa tawakal atau pasrah kepada Allah adalah
setelah selesainya semua ikhtiar atau usaha. Di ayat tersebut kata sambungnya
menggunakan huruf ف/fa berbeda dengan ثم/tsumma,
keduanya bisa diartikan dengan maka tetapi keduanya mempunyai perbedaan
dalam waktu, kata sambung pertama mempunyai interfal waktu yang lebih cepat
(spontanitas) dibanding kata sambung kedua. Yang kami maksud adalah, sejak awal
dicetuskannya kesungguhan dalam melakukan sesuatu maka sejak saat itulah hasil
akhirnya kita sandarkan kepada Allah. Bukan seperti yang selama ini kita
pahami, dimana sikap pasrah kita tempatkan di saat kita sudah mentok dan
mengalami kebuntuan baru kita kembali dan ingat akan takdir Allah.
Walladzîna jâhadû fîna
lanahdiyannahum subulanâ – Dan barang siapa yang bersungguh-sungguh di jalan
kami niscaya kami akan memberi petunjuk kepadanya. Semua langkah pasti mempunyai tujuan, begitu pula
kesungguhan. Untuk apa dan siapakah kesungguhan kita? Makhlûq atau khâliq?
‘Âbid atau ma’bûd? Bila
kita bersungguh-sungguh untuk manusia maka ketahuilah bahwa batas kepuasan
manusia tidak bisa diukur, ridho an-nasi ghâyatun la tudrak. Akan tetapi
bila semua fokus amalan kita dipersembahkan hanya untuk Allah maka Allah tidak
hanya menjamin diterimanya amalan tersebut tapi juga menunjukan, mengarahkan
dan memudahkan semua langkah yang kita pilih.