- Back to Home »
- Ruhaniyat »
- Saat Arab Bersatu, Doloe!
Posted by : Alamin Rayyiis
Minggu, 21 September 2014
Rasulullah hebat. Itu yang tergambar dalam benak saya
ketika ingat tentang perstiwa eksodus alias hijrah para sahabat dan bertemunya
kaum Muhajirin dan Anshar. Tapi sebaliknya, sekilas bayang mungkin akan ada
yang membatin, “Hebat apanya, lha wong sama-sama Arab pasti
gampang untuk bersatu. Peristiwa muâkhâh antara mereka bukan hal yang
spesial”.
Sahabat aytam yang dirahmati Allah,
mengenal watak dan bangsa Arab tidak bisa menanggalkan fanatisme kesukuan
mereka. Jahiliyah adalah saksi bisu atas kemajemukan suku dan bagaimana
fanatisme benar-benar sudah mendarah daging dalam diri mereka. Klan Hasyim,
Abas, Hawazin, Umayyah, Ady, Tamim dan lain-lain. Kecenderungan mereka dalam
membentuk kelompok-kelompok yang tertutup dan eksklusif lebih besar dari kesukuan
Jawa, Sunda, Madura dan lain sebagainya. Terlebih watak keras dan kasar
merupakan karakter alami bangsa Arab dimana hal itu sekaligus mengganjal
persatuan.
Rasulullah sadar dengan realita
pluralitas dan kemajemukan bangsa Arab, kaum muhajirin terdiri dari klan yang
berbeda, begitu juga kaum anshar yang terdiri dari kabilah yang banyak. Bisa
dibayangkan, payung apa yang kiranya bisa mempersatukan mereka, langkah
bagaimana yang bisa meleburkan ego individu yang sudah demikian kentalnya, ego
kepemilikan harta dan keluarga, ego tentang harga diri dan lain sebagainya.
Sebenarnya sah saja apabila Rasulullah
mengambil keputusan untuk menjadikan anshar sebagai Tuan dan muhajirin sebagai
Pembantunya, toh anshar adalah tuan rumah dan muhajirin adalah para pencari
suaka. Tetapi hal itu tidak terlintas dalam benak rasulullah, hubungan antara
anshar dan muhajirin tidak dibangun atas kuasa-menguasai, hubungan mereka
dilandasi cinta dan kasih sayang, saling menghargai dan mengayomi, dan bahkan
berbagi dengan apa yang mereka selama ini cintai; istri, perkebunan, lapangan
pekerjaan dan lain-lain.
Ya, cinta dan kasih sayang adalah
landasan persaudaraan muhajirin dan anshar. Apabila persaudaraan mereka hanya
sebatas kekuasaan dan pragmatisme, maka sirnalah bangunan persaudaraan kala
muhajirin mendapatkan kekuatan, karena kaum muhajirin bisa membuktikan
eksistensinya dalam perantauan, bahkan akhirnya mereka mendapatkan momen
kembalinya kekuatan dan kampung halaman, Makkah.
Islam sebagai suluk dan amalan, iman
sebagai pondasi dan keyakinan serta ihsan sebagai kesempurnaan penghambaan;
kesemuanya mampu menjadikan persaudaraan muhajirin dan anshar kokoh laiknya al-bunyân
al-marshûh. Karena, persaudaraan yang melahirkan kedamaian bukanlah
persaudaraan dengan asas madzhab agama, kesukuan, strata sosial, keluarga atau,
kalau kita analogikan dengan fanatisme modern maka berbentuk fanatisme
almamater, klub sepak bola, grup band, partai politik, tokoh tertentu atau
lainnya.
kedamaian, cinta dan kasih sayang; rahmatan
lil-‘alamin akan terlalu sempit bila kita penjarakan dalam lingkup kecil
bernama viking, jackmania, metalica, jawa, sunda, borjui, proletar atau mereka
yang mengatakan ‘hidup matiku untuk si A’. Bila persaudaraan kita sudah
terkekang dengan komunitas yang salah maka kecenderungan untuk memusuhi pihak
lain semakin besar. Nilai-nilai kemanusiaan hanya akan diukur dengan warna
baju, bendera, daerah asal, warna kulit atau diskriminasi lainnya.
Berkaca dengan muhajirin dan anshar yang
telah menyatu padu sebagai saudara seagama, maka persatuan dan kedamaian mereka
tidak dinikmati oleh mereka sendiri, persaudaraan mereka adalah awal dari
sumber kedamaian, mereka adalah hilir yang kemudian mengalir untuk memberikan
kedamaian bagi alam semesta. Ketika persaudaraan umat Islam sudah menjelma
menjadi ‘1 Islam 1 tubuh manusia’, saat internal umat sudah kuat maka umat
Islam masih harus mendamaikan ‘orang lain’, taklif sebagai khalifah di
bumi yang sudah dibebankan saat penciptaan Adam meniscayakan kita untuk
membantu dan mendamaikan orang lain. Oleh karena itu, piagam Madinah mengajari
kita tentang bagaimana kekuatan Islam juga menjamin kedamaian Yahudi untuk
hidup sebagai manusia selama mereka tidak mengganggu kaum muslim.