- Back to Home »
- Sejarah »
- Soedirman di Nawangan
Posted by : Alamin Rayyiis
Jumat, 06 Desember 2013
Bandar Nawangan adalah salah satu Desa yang mana
seluruh permukaannya adalah pegunungan dan dataran tinggi dengan jalan-jalan
yang sempit dan curam. Letaknya yang berada pada ketinggian, awang-awang,
mungkin yang menjadikan alasan kenapa daerah ini disebut dengan Nawangan. Kalau
dulu kita sering mendengar lagu Negeri di Atas Awan maka Nawangan mungkin
daerah yang pantas mendapatkan julukannya. Daerah ini merupakan lintasan yang
menghubungkan antara Pacitan dan Wonogiri, tepatnya di Purwantoro. Bagi beberapa
pelancong yang menginginkan rasa petualangan ala gunung maka tempat ini
merupakan pilihan yang tepat, bahkan smpat kami temukan seorang biker ngonthel
sendirian menyusuri jalanan terjal pegunungan.
Komplek monumen
Jendral Sudirman diawali dengan beberapa gerbang yang jalannya ditinggikan
sedikit seperti polisi tidur, berfungsi agar kendaraan yang ingin melewatinya
mengurangi kecepatan dan meluangkan sedikit waktu untuk membaca tulisan besar
yang terpahat di samping kanan maupun kiri gerbang yang berjumlah 8. Tulisan
itu terletak di tembok pinggir jalan atau jurang yang rata-rata mempunyai
ketinggian sekitar 6-8 meter dari bawah serta mempunyai ketebalan satu kilan
tangan. “TENTARA INDONESIA BUKAN TENTARA SEWAAN, TENTARA INDONESIA BERJUANG
UNTUK KEUTUHAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA”, KEMERDEKAAN SUDAH DIREBUT DAN
DIPERJUANGKAN, JANGAN SAMPAI DILEPASKAN”, kata-kata motivasi itu menggetarkan
hati bagi siapa saja yang melewatinya dengan penuh rasa hormat dan kekhusyu’an.
Memasuki gerbang terakhir menuju komplek monumen, kita harus melewati pos penjaga yang akan memberikan akses kepada pengunjung dengan mengangkat palang jalan, adapun tarif pembayaran tidak dikenakan bilangan rupiah yang khusus, biasanya penjaga hanya meminta tarif yang seikhlasnya. Lahan parkir yang persis dipinggir jurang dihiasi dengan lampu-lampu hias yang terpasang di sepanjang area parkir. Namun sayang, semua lampu itu hilang, bukannya belum dipasang tapi lebih karena aksi vandalisme yang mencuri lampu-lampu penerang komplek.
Jika kita memasuki
gerbang atau lorong utama menuju komplek dalam dan kita berbelok kiri dan
menempatkan diri kita di pertengahan area maka tata letak monumen tersebut
kurang-lebih seperti ini; di bagian depan kita terdapat dua kepunden yang
menjulang tinggi kepunden pertama sangat lebar antara kepunden pertama dan
kedua area datar persegi panjang yang biasanya digunakan oleh beberapa pedagang
menjajakan jajanannya secara lesehan atau photo spot bagi beberapa pengunjung.
Kepunden kedua juga terdiri dari beberapa puluhan anak tangga yang
menghubungkan area tadi dengan area dimana monumen Jendral Sudirman diabadikan
dengan gagahnya.
Dibagian
kanan-kiri dan belakang kita terdapat bangunan lantai satu yang berbentuk leter
U, hanya saja bagian tengah leter tersebut merupakan pintu gerbang ke beberapa
relief yang bersisi kanan-kiri yang juga memanjang ke blakang. Dari relief
belakang itulah kronologi kehidupan Sang Jendral diceritakan secara garis
besarnya. Total keseluruhan berjumlah sebanyak 38 relief. Urutan reliefnya adalah
zigzag kanan kiri, selesai dari ruangan kecil yang zigzag tersebut, relief
diteruskan di sebelah kiri kita dan berlanjut searah jarum jam sehingga
mengelilingi seluruh areal monumen. Di tengah-tengah monumen tersebut terdapat
tiang bendera yang besar dan tinggi.
Nilai-nilai
edukasi dan historis dari tanah keramat dan bangunan memukau tersebut
seharusnya mendominasi pemandangan para plancong dan pengunjung monumen
Jansoed. Profil beliau yang bernafas dengan satu paru, ditandu tapi tetap
bergerilya mendaki perbukitan dan pegunungan terjal. Dari relief-relief yang
dengan besar bisa dilihat dan dibaca bahkan oleh orang tua yang rabun pun,
seharusnya miliu perjuangan di atas mendominasi monumen. Tapi ternyata tidak
demikian kenyataanya. Di bawah patung megah beberapa pemuda saya dengar sedang
mengumpat dengan ucapan-ucapan yang kotor, omongan porno, bercampurnya lelaki
dan perempuan. Nuansa haru, respek terhadap perjuang sama sekali tidak saya
tangkap. Kesemuanya lebih memilih sudut-sudut yang menurut mereka pantas diambil
photo dan dijadikan photo profil. Sedangkan dinding-dinding relief sejarah yang
terpampang mengelilingi ruangan utama lapangan sama sekali tidak ada yang
membaca dan melihatnya. Kosong. Tak terhiraukan.