- Back to Home »
- Sejarah »
- Rasulullah dan Masa Muda
Posted by : Alamin Rayyiis
Senin, 30 Desember 2013
“Demi Masa” adalah sumpah
kondang dalam al-Quran, di kultum-kultum, pengajian akbar dan bahkan lagu-lagu
religi tempoe doloe hingga sekarang masih menyertakan lirik yang tidak terlepas
dari ‘Wal ‘Ashr’. Hal itu bukan berlebihan karena masa atau waktu itu
sendiri adalah elemen terpenting dalam kehidupan yang, sadar atau tidak sadar
masa di bumi ini akan segera lenyap dengan digantikannya masa di akhirat nanti.
Bila manusia ditakdirkan dengan garis kehidupan sebagai anak-anak, muda,
dewasa, dan tua, maka dua masa pertengahan (muda dan dewasa) adalah masa
pertumbuhan dan pembentukan yang sangat riskan.
Oleh karena itu, rentang
waktu yang riskan ini harus dimaknai secara mendalam terutama kita sebagai
santri dan santriwati yang memang tengah menjalani masa pertumbuhan tersebut.
Kita seharusnya tidak lagi hidup sebagai anak-anak dan tidak pula sebagai orang
tua. Tangga periodik yang kita titi adalah masa muda menuju dewasa, masa
pubertas menuju kematangan, masa labil menuju stabil, dan bukan sekedar masa
foya-foya atau mengumbar kebebasan semata.
Islam, dalam hal ini
adalah Rasulullah saw., merupakan tauladan ideal bagi umat Islam secara khusus
maupun umat lainnya yang hidup di muka bumi. Rasulullah adalah prototype
sempurna sebagai kekasih Allah, pemimpin negara, pemuka agama, pemimpin rumah
tangga atau ‘sekedar’ sebagai anggota masyarakat Makkah.
Rasulullah saw. diangkat menjadi
nabi memang ketika beliau berumur 40 tahun, atau ketika masa dewasa telah genap
tersemat dalam pribadi beliau. Tapi sebaiknya kita tidak melupakan puluhan
tahun sebelumnya, atau ketika beliau menjadi seorang pemuda Makkah keturunan
bani Hasyim karakteristik pemuda ideal benar-benar menjadi predikat yang
disandangnya, diakui sekaligus disematkan oleh masyarakat Makkah sendiri. Sifat
kesempurnaannya benar-benar diketahui oleh lingkungannya, bukan seperti
sekarang, ketika icon seseorang tergantung pada pencitraan yang ia pasang
dengan banner ataupun selebaran yang dewasa ini memenuhi dinding-dinding,
batang pohon, atau tiang-tiang di tengah trotoar.
Muhammad al-Amin, Muhammad
Orang Yang Dipercaya. Masa belianya dihabiskan untuk menggembala kambing bani
Sa’ad. Hal inilah yang di kemudian hari mengajarkan kepada beliau sifat sabar,
rendah hati, berani, lembut dan kasih sayang serta bangga terhadap hasil jerih
payah sendiri. Muhammad sebagai pemuda juga teramanahi sebagai pakar dagang
yang sudah melanglang buana ke negeri Syam (saat ini menjadi Palestina, Lebanon
dan Syuria). Masa kecilnya yang yatim piatu, berpindah-pindah orang tua asuh,
kesemuanya itu tidak lantas menjadikannya sebagai pribadi yang galau, hidup
tanpa prinsip dan orientasi.
Pada umurnya yang ke 14
terjadilah apa yang disebut Harbul Fijar (dinamakan demikian
karena peperangan tersebut terjadi pada bulan Haram dimana pasar Ukadz dibuka).
Yaitu peperangan antara bani Kinanah dan Hawazin. Pihak Quraisy
akhirnya berkoalisi dengan Kinanah untuk berperang melawan Hawazin. Paman-paman
Rasulullah yang juga merupakan punggawa Quraisy pun ikut serta melibatkan beliau
di umur yang masih belia tersebut. Dalam Sirah Ibnu Hisyam beliau
sendiri mengaskan perannya saat perang tersebut. Beliau mengumpulkan batu-batu
dan alat lontar untuk paman-pamannya. Maka, sifat pemberani, nasionalisme serta
menjunjung tinggi keadilan sosialnya telah terbentuk jauh sebelum menjadi
utusan Allah swt.
Tidak berhenti sampai di
situ, sekembalinya Quraisy dari peperangan tersebut terjadilah momen penting
antar kabilah Quraisy yang dinamakan Hilful Fudhul. Atau sumpah
untuk menjunjung tinggi prinsip keadilan di antara mereka. Hal itu disebabkan
seorang Zabid (salah satu kota di Yaman) membawa barang dagangan ke Makkah, Ash
bin Wail kemudian bertransaksi dengannya, akan tetapi Ash bin Wail tidak
memberikan hak orang Zabid tadi. Orang Zabid pun meminta kepada para pemuka
Quraisy untuk membantunya, awalnya mereka enggan karena Ash bin Wail mempunyai
posisi kuat di antara Quraisy. Hingga akhirnya Zabidiy tadi berdiri di depan
Ka’bah menyeru kepada siapa saja berbudi luhur untuk membantunya.
Zubair bin Abdil Mutholib
pun merasa iba terhadapnya dan akhirnya ia mengumpulkan kabilah Hasyim, Zuhrah
dan Taim bin Murrah di rumah Abdullah bin Jud’an. Maka pada saat itu, di bulan
Haram (Dulqa’dah) mereka bersumpah akan menyatukan tangan mereka terhadap siapa
saja yang terdholimi sampai haknya diberikan sepenuhnya. Kemudian mereka pun
menuju rumah Ash bin Wail untuk kemudian mengambil barang-barang Zabidiy
kembali dan diserahkan kepadanya. Momen-momen sosial dan kemasyarakatan seperti
ini sama sekali tidak disia-siakan oleh Rasulullah, dirinya bahkan berkata “Aku
telah menghadiri Sumpah Kemuliaan di rumah Abdullah bin Jud’an, dan sungguh aku
menyukainya, dan kalau saja aku dipanggil untuk hal itu di masa Islam maka aku
pun akan mendatanginya”.
Mari kita simak peran
Rasulullah saat ka’bah mengalami restorasi/pembangunan ulang (Bina’ul
Ka’bah – Qadhiyatu at-Tahkim), saat itu klan-klan quraisy berebut untuk
meletakkan hajar aswad sebagai pelengkap ka’bah, karena hal itu merupakan momen
sakral sekaligus membuktikan klan siapakah yang paling bermartabat di antara
mereka. Di tengah hiruk pikuk perebutan martabat itulah Abu Umayyah bin
Mughirah al-Makhzumy memberikan keputusan bahwa orang yang pertama kali
memasuki komplek haram adalah yang akan meletakkan batu itu di ka’bah.
Hari esok pun tiba dan Muhammad
muncul sebagai orang yang menyandang kriteria yang disepakati oleh kaum quraisy
sebelumnya, di 5 tahun sebelum diangkatnya beliau menjai Rasul, dengan
kedewasaan yang matang telah melahirkan ide yang sangat bijak, yaitu agar hajar
aswad tadi diletakkan di atas sorban dan kemudian setiap kepala suku memegang
ujung-ujung sorban/kain tersebut, hal itu dimaksudkan agar setiap suku merasa
mewakili dalam penyempurnaan restorasi ka’bah sehingga tidak menimbulkan
kecemburuan antar kabilah. Dan akhirnya mereka pun sepakat bahwa yang
meletakkan batu tersebut di tempatnya adalah Muhammad bin Abdillah.