- Back to Home »
- Ruhaniyat »
- Antara Mantu dan Mertua
Posted by : Alamin Rayyiis
Minggu, 12 Januari 2014
Menikah pada hakikatnya adalah menjalin hubungan
kekeluargaan tidak hanya pada kedua mempelai saja, tapi lebih dari itu, menikah
adalah menghubungkan beberapa keluarga yang sebelumnya tidak mengenal satu sama
lain, ibarat laba-laba yang sedang memilin benangnya, maka kedua mempelai
sesungguhnya mempunyai misi untuk membuat pola kehidupan dan kekeluargaan yang
harmonis antara pihak keluarga lelaki dan wanita, sehingga bibit-bibit sakinah
– mawadah – wa rahmah bisa disebar kepada orang-orang sekitar yang disayanginya.
Itu kenapa dalam memilih jodoh biasanya kita diminta juga
untuk mempertimbangkan bibitnya atau keturunan siapakah calon yang akan
mendampingi kehidupan kita, dalam istilah nabawiyahnya dikenal dengan wa
linasabiha. Tapi perlu dicatat, pertimbangan latar belakang keluarga tidak
selalu diartikan sebagai keharusan memilih seseorang yang mempunyai darah biru,
ningrat, golongan menengah ke atas dan lain sebagainya. Pertimbangan mertua dan
keluarganya lebih didasarkan pada kesepahaman, kerelaan dan semangat saling
mengerti antar keluarga. Bila kufu’ antara suami istri adalah syarat
dalam membina dan melahirkan keluarga baru maka, saling memahami dan saling
mengerti latar belakang keluarga adalah syarat dalam melanggengkan dua keluarga
yang sudah ada.
Mari kita berkaca pada mertua teladan di seberang negeri nun
jauh di sana, negeri kaum Madyan. Nabi Syu’aib
alaihissalam menawarkan salah satu putrinya kepada seseorang yang bahkan bibit
bobotnya tidak diketahui, datang dari negara yang berbeda, menyandang status
buron kerajaan Fir’aun yang adi kuasa. Tapi semuanya itu tidak menyurutkan
langkahnya untuk menjadikan Musa alaihissalam seorang mantu yang dipasangkan
kepada putrinya, bahkan datangnya nabi Musa yang hanya bermodal tongkat kayu
dan beberapa helai baju yang menempel di badannya tidak juga menjadikan si
mertua memandang sebelah mata serta mahar yang diwujudkan dalam kerja
pengabdian selama 8 tahun. Yang dikehendaki oleh keluarga Syu’aib alaihissalam
adalah seseorang yang al-Qawiyu al-Amiin seorang yang kuat lagi bisa
dipercaya, seorang yang mempunyai kekuatan fisik serta integritas yang jauh
dari kata tercela. Mengedepankan perempuan dalam pelayanan ketika menggembala
domba, tapi mendahulukan dirinya saat berjalan dengan mereka.
Mantu dengan mertua adalah gambaran lain dari seorang anak dengan orangtuanya, seorang yang lebih kecil dengan yang lebih besar. Kalau permasalahannya demikian maka kita seharusnya mengkaji ulang tentang konsep hubungan vertikal tersebut. Rasulullah saw. bersabda yang artinya “Bukan termasuk golonganku orang yang tidak menyayangi orang yang lebih kecil darinya dan orang yang tidak menghormati orang yang lebih besar darinya” poinny adalah, yang muda menghormati yang tua dan sebaliknya, yang tua menyayangi yang muda.
Tapi waktu akan terus berlalu dan siklus kehidupan akan
terus berjalan. Bayi – anak – muda – dewasa – tua adalah siklus dari lemah –
kuat – menjadi lemah lagi. Hal itu berlaku bagi anak dan orang tua, bagi mantu
dan mertua. Saat anak menjadi dewasa ia tumbuh menjadi pribadi yang lebih
matang, lebih stabil dan bijak dalam menentukan. Saat orang tua memasuki
masa-masa penuaannya satu persatu kelebihan yang ia miliki lambat laun melemah
kembali. Pada saat itu tiba orang tuapun harus mengalah dan menghargai
anak-anaknya yang kini tumbuh dewasa, dan sebaliknya, bagi mereka yang tumbuh
dewasa seyogyanya menyayangi kedua orang tua mereka.
Batasan-batasan mantu dan mertua haruslah dipahami lebih
bijak lagi. Seorang anak ketika telah memutuskan untuk memilih seorang pujaan
hati, maka dengan itu ia telah memilih untuk membangun mahligai keluarganya
sendiri. Ada batasan-batasan dimana orang tua ataupun mertua menjadi penasihat
dan memberikan pilihan-pilihan tapi sang anaklah yang akhirnya membuat,
memutuskan dan menjalani pilihan tersebut. Orang tua maupun mertua ada baiknya
memberikan kesempatan kepada mantunya untuk menjalani kehidupan keluarganya
sesuai dengan zaman dan pilihan-pilihan yang mungkin berbeda dengan masa
mertua. Cara berumah tangga, bekerja, mendidik anak, memilihkan sekolah dan
hal-hal lain yang sebaiknya mencoba mempercayakan hal itu kepada menantunya.
Kita berharap mantu dan menantu adalah simbol keharmonisan
keluarga, perluasan rizki dan rahmat-Nya serta pengembangan sayap kasih sayang,
bersama memenuhi seruan ilahi quu anfusakum wa ahliikum naaran. Seperti
Musa as. kepada Syu’aib as., seperti Muhammad saw. kepada mertuanya Abu Bakar
dan Umar ra., seperti Utsman bin Affan kepada mertuanya Muhammad saw., seperti
Said bin Musayyab kepada mertuanya Abu Hurairah ra.