- Back to Home »
- Usul + Fikih »
- Harta Waris BR
Posted by : Alamin Rayyiis
Rabu, 14 November 2012
Bila
berhadapan dengan kejadian sore hari kemarin maka saya pribadi merasa malu
telah meninggalkan mata pelajaran yang oleh Rasulullah sendiri disindir sebagai
ajaran Islam yang paling pertama ditinggalkan oleh umatnya. Zaman sekolah dulu
ada salah satu pelajaran ‘islamiy’ yang memakai hitung-hitungan,
Faraidh/Mawarits atau ilmu hitung tentang warisan seseorang yang meninggal,
tapi sayang saya gagal mendapatkan nilai yang memuaskan, paling mentok
sepertinya tidak lebih dari 7, sudah seperti itu pun saya belum juga berbenah
dan malah terkesan mengacuhkan, hingga hari kemarin saya pun kena batunya,
tidak maksimal dalam menjawab pertanyaan orang yang bersangkutan.
Sebut saja
namanya BR, semua kejadian ini menurut cerita dari pihak pertama sebagai orang
yang ditinggal mati oleh suaminya. Sekitar 12 hari yang lalu BR ditinggal mati
oleh suaminya karena sakit, di waktu kejadian BR berada di jakarta, tempat
dimana rumah mereka berada, akan tetapi sang suami sakit dirawat dan meninggal
di Solo, kebetulan ketika itu yang mengurusnya adalah pihak keluarga seperti
saudara kandungnya.
Sang suami
meninggalkan; 1 istri, 1 anak lelaki (adopsi), 1 kakak laki, 1 adik perempuan.
Kedua orangtuanya sudah meninggal.
Beberapa
daftar kekayaan si mayit/suami kira-kira seperti ini; Ruko, rumah di jakarta,
tabungan, pensiunan, asuransi dll. Ditaksir merupakan keluarga menengah ke atas
dan cenderung elit. Ia sendiri bekerja sebagai PNS di BNI.
Kronologinya;
ketika suami meninggal Mas/Kakaknya pun dengan serta merta menahan surat
kematian, datang ke rumah yang ketika itu hanya dihuni oleh pembantu lantaran
Istri tidak berada di lokasi, langsung mengambil kunci-kunci kamar dan lemari.
Ketergesa-gesaan Mas dalam mengurus jenazah adik lelakinya itu seolah-olah
memberi kesan bahwa dia begitu tidak bersimpati atau berempati karena ditinggal
adik lelakinya. Tidak berhenti sampai di situ, Mas itu pun dengan segera
mengejar BR sebagai istri agar segera mengurus pensiunan suami, dana asuransi
dan harta warisan dari si mayit seperti Ruko, tabungan dll.
Beberapa
pertanyaan yang berkenaan dengan harta muncul seperti: Gono Gini, oleh beberapa
pakar hukum dimaknai sebagai harta yang dimiliki oleh kedua belah pihak
(suami-istri), bagaimana status hukum harta tersebut, apakah ia termasuk harta
warisan yang juga harus dibagi kepada ahli waris selain istrinya seperti kakak
lelaki dan adik perempuan kandung? Dalam hal ini yang dimaksud adalah, rumah pasutri
di jakarta, mobil atas nama sertifikat istri, tabungan dll.
Ruko atau
rumah toko yang dimiliki mayyit merupakan peninggalan/warisan dari sang ayah,
dengan kata lain ruko tersebut adalah harta pusaka atau harta asli si mayyit
yang harus dibagi warisannya. Akan tetapi sirkulasi ruko tersebut ternyata juga
melibatkan sang istri, secara tidak langsung sebelum nilai ruko tersebut dibagi
seharusnya ada mekanisme keuangan yang memberikan bagian kepada istri sebagai
pengelola pasca meninggalnya suami, yang mana bagian ini non-jatah waris. Setelah
ruko ini dikembangkan pasca diwariskannya kepada si mayyit apakah lantas
perkembangan ruko ini dianggap gono gini sehingga ada beberapa nilai harta yang
terbatas dan tidak dibagi sebagai warisan?
Permasalahan
lain adalah tentang gaji pensiunan, sebagai PNS si mayyit tentunya mempunyai
pensiunan yang terus mengalir, oleh ketentuan pemerintah seharusnya pesangon
tersebut secara otomatis berubah menjadi santunan janda, dan pihak keluarga
lain selain istri dan anak sama sekali tidak diperkenankan memakan harta
pensiunan tersebut.
Beberapa harta
seperti mobil dengan sertifikat atau kepemilikan istri maka harta tersebut sama
sekali tidak termasuk yang harus dibagi di dalam warisan. Beberapa tabungan
yang diatasnamakan suami maka, bila kalau menurut hukum islam harta tersebut
termasuk harta suami dan masuk kategori yang harus dibagikan kepada para ahli
waris, akan tetapi menurut keterangan Gelar salah satu lulusan sarjana hukum,
berstatemen bahwa semua harta yang didapat setelah menikah maka ketika suami
meninggal kepemilikan tersebut dimiliki oleh istri dan tidak dibagi untuk para
ahli waris, karena prinsip pengadilan negeri yang dibagi dalam warisan adalah
harta pusaka saja alias harta yang dimiliki oleh suami sebelum menikah dengan
istri.
Beranjak ke
permasalahan selanjutnya adalah hutang. Beberapa obrolan yang sempat terjadi
terdengar bahwa seluruh harta waris yang dibagikan adalah harta bersih,
artinya, harta yang akan dibagi tersebut sudah murni diluar hutang mayit, hibah
ataupun wasiat dimana, hal-hal tersebut membutuhkan surat formal yang harus
dipenuhi dalam sidang. Akan tetapi di sela obrolan yang lalu sempat teman
berkesimpulan bahwa, memang benar hutang mayit adalah tanggungan bersama ahli
waris tapi bukan berarti besar kecilnya ditentukan dengan besar kecilnya
persent yang didapat oleh ahli waris, maksudnya, apabila istri mendapat warisan
sejumlah ¼ maka dia pun harus menanggung hutang mayit sebanyak ¼ juga.
*Masih
mengambang…