- Back to Home »
- Ulumul Quran »
- Ramadhan Sepanjang Masa
Posted by : Alamin Rayyiis
Rabu, 22 Agustus 2012
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ
وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (هود:112)
Maka beristiqamahlah engkau, sebagaimana
yang diperintahkan kepadamu dan orang yang bertobat bersamamu dan janganlah
engkau melampui batas (Hud; 112). Istiqamah mempunyai susunan makna; tetap pada jalan dan prinsip yang
dipegang, dari sana mungkin kita bisa memahaminya sebagai bentuk keseimbangan
dalam melakukan suatu hal, sebuah sikap yang secara haluan tidak melenceng dari
jalan tengah, tidak kanan tidak kiri, dan secara sikap tidak keras tidak pula
lunak, persis yang tertera di bait mahfudzot lâ takun rathban fatu’shoro wa lâ
yâbisan fatukassara. Berbicara megenai akar kata istiqamah maka kita akan
mendapatinya di jajaran huruf ق – و – م, qaf – wawu –
miim, kata kerja itu mempunyai makna berdiri tegap dan lurus, dan darinya bisa
diambil makna-makna keteguhan, telaten, dan kemauan yang keras.
Secara istilah istiqamah dimaknai dengan
beberapa pendapat yang variatif oleh keempat khalifah, dan yang perlu
ditekankan adalah, bahwa tidak semua pendapat yang berbeda lantas dianggap
bertentangan. Abu Bakar ash-Shidiq berkata bahwa istiqamah adalah ‘Tidak
menyekutukan Allah dengan apapun’ – Umar bin Khathab berkata bahwa istiqamah
adalah ‘Teguh dalam melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan serta
menjauhi tipu dayanya orang-orang yahudi dimana membuat sesuatu yang diharamkan
atas mereka menjadi seolah-olah mubah untuk dilakukan’ – Utsman bin Affan
berkata bahwa istiqamah adalah ‘Ikhlaskanlah amal perbuatan kalian hanya kepada
Allah’ – sedangkan Ali bin Abi Thalib berkata bahwa istiqamah adalah ‘Selalu
mengerjakan faraidh’.
Jadi dimanakah letak mental istiqamah itu
berada? Apakah dia termasuk aktifitas batin atau lahir? Berkaitan dengan hal
ini, Ibnu Rajab dalam Jami’ul Ulum, menukil komentar Abu Bakar ra. berkata
bahwa istiqamah adalah keteguhan dan kelanggengan hati dalam beribadah kepada
Allah. Tentunya hal itu tidak lantas dipahami secara terbatas pada batin saja,
keistiqamahan dalam beribadah kepada Allah perlu diwujudkan dengan mengerjakan
apa saja yang diperintahkan dan menjauhi apa saja yang dilarang oleh Allah dan
Rasulnya.
Selanjutnya, para pakar tafsir kenamaan seperti
Imam Alusi dalam Ruhul Ma’ani dan Fakhruddin ar-Razi dalam Tafsir Kabir
mempunyai pandangan yang sama bahwa bentuk keistiqamahan dalam ayat di atas
mempunyai maksud umum (‘âm). Allah memerintahkan Nabi Muhammad saw. dan kaum
muslim agar tetap di jalan yang telah ditetapkan oleh-Nya, dalam dimensi
akidah, syariah dan akhlak. Dalam mu’amalah vertikal dengan Allah ataupun
mu’amalah horizontal dengan sesama manusia. Tuntutan istiqamah juga berlaku
untuk takâlif bathiniyyah dan dhohiriyyah.
Dengan paparan di atas maka keistiqamahan pun
memerlukan pelatihan yang intens, harus banyak waktu yang dibutuhkan untuk
menguji mental tidak berpaling dari sesuatu yang sudah biasa dilakukan, apalagi
kebiasaan tersebut termasuk dalam kategori kebaikan. Keistiqamahan juga
membutuhkan mental baja yang harus diasah di tengah-tengah lingkungan yang
sedang krisis prinsip dan pegangan kehidupan. Istiqamah adalah berani
mengibarkan bendera hijau, sekalipun disekeliling anda berkibar bendera hitam,
putih, merah dll. Istiqamah adalah keteguhan berkata tentang kebenaran
sekalipun lingkungan lainnya disibukkan dengan kebohongan, retorika dan silat
lidah belaka.
Karena urgensi istiqamah itulah kalimat
istiqamah dalam al-Quran sering terulang, dalam berbagai derivasi kata dan
konteks yang berbeda tapi dengan satu istiqamah. Lebih dari 30 kata-kata
istiqamah/mustaqim termaktub dalam mushaf utsmani. Bahkan di surat pertama
dalam urutan mushaf pun kita selalu membacanya sehari minimal 17 kali. Di
tempat lain: 7;16 – 17;35 – 26;186 – 37;118 – 2;142, 213 – 3;51, 101 – 5;16 –
6;39, 87, 161 dst. Kesemuanya ber-sawabiq (didahului dengan kalimat) shirath
atau thariq yang keduanya mempunyai arti jalan.
Di atas adalah salah satu contoh perintah
istiqamah yang secara langsung tersurat dalam al-Quran, sedangkan kandungan
makna istiqamah yang tersirat di beberapa kalimat dalam al-Quran pun
lebih-lebih lagi tidak terhitung. Sebagai contoh nyata adalah kesaksian Allah
yang menceritakan tentang perilaku orang-orang Ahlul Kitab yang dengan sangat
frontal menyuruh orang-orang di sekitar mereka agar tidak istiqamah dengan cara
mengimani wahyu yang diturunkan di siang hari saja, dan ketika malam tiba
hendaknya mereka kembali kekufuran lagi. Inilah salah satu ketidak istiqamahan
yang dengan lantang disuarakan oleh rival akidah kita para Ahlul Kitab; Yahudi
dan Nashrani. Hal tersebut bisa dilihat di surat Ali Imran ayat 73.
Bila ayat di atas berbicara tentang
ketidakteguhan Ahlul Kitab dalam mengimani wahyu Allah secara waktu; yaitu
beriman di siang hari dan kufur di malam hari, maka di ayat lain Allah juga
memberi sindiran terhadap orang-orang Ahlul Kitab yang hanya memilah-milih
wahyu untuk diamalkan serta menolak wahyu lainnya. Tentunya hal ini terkait
tentang ketidakistiqamahan mereka dalam menerima ajaran Allah. Mereka hanya
memilih perkara-perkara yang dilihat sebagai kesenangan belaka, sedangkan
perkara-perkara dan ajaran yang menuntut pengorbanan, perjuangan dan
kesungguhan mereka tolak mentah-mentah. Maka, Maha Benar Allah yang berfirman;
“Apakah kalian mengimani sebagian kitab dan kufur dengan sebagian yang lain.
Maka, tidak ada balasan bagi siapa saja yang melakukan hal demikian di antar
kalian kecuali akan mendapatkan kehinaan ketika hidup di dunia dan pada hari
kiamat nanti ia akan dicampakkan ke dalam siksa yang pedih” (QS. Al-Baqarah;
85).
Dari paparan di atas bisa kita simpulkan bahwa
istiqamah merupakan mentalitas ibadah yang harus dimiliki oleh siapa saja yang
pernah berikrar dua syahadat, karena ia merupakan bentuk loyalitas dan
konsekuensi dari apa yang pernah ia saksikan. Dan keteguhan dalam ibadah
hendaknya disertakan dalam segala hal kebaikan dan kebenaran; akidah – syariah
dan akhlak, keistiqamahan seseorang juga berlaku dalam aktifitas-aktifitas
lahir dan batin sehingga dua dimensi tersebut saling berkesinambungan. Dan
terakhir tuntutan istiqamah terkait erat dengan sejauh mana waktu dan tempo
yang sudah kita gunakan dalam keteguhan untuk menegakkan kalimatullah dan
sejauh mana kita benar-benar menjalankan aturan-aturan yang ada dalam kitab
suci Al-Quran dan Sunnah Nabawiyah?
Dan, Ramadhan pun berlalu dengan pundi-pundi
kesempatan emasnya, akan tetapi apakah berarti ketaatan, ketakwaan, keikhlasan
dan ajaran para pendahulu kita biaskan begitu saja? Benarkah kita meninggalkan
sholat berjamaah di masjid lantaran bulan mulia telah sirna? Bolehkah kita
menghibah orang lain lantaran mulut ini tidak lagi puasa?
Seharusnya pertanyaan-pertanyaan yang menggugat
di atas kita sikapi dengan arif dan penuh introspeksi diri. Kalau Ramadhan
merupakan bulan mulia yang menyajikan ampunan bagi jiwa yang berdosa, maka
apakah kita akan mengotori putih bersihnya hati kita? Tentu saja tidak. Kalau
Ramadhan merupakan bulan yang menyimpan ladang pahala? Apakah lantas kita tidak
diperkenankan melanjutkan amalan-amalan ibadahnya? Tentu saja tidak. Bahwa,
sholat, zakat, berbakti kepada orang tua, menuntut ilmu, berperilaku baik,
menutup aurat adalah amalan-amalan yang tidak pernah mengenal kata terlambat.
Wallahu a’lam bishowâb…