- Back to Home »
- Batin »
- Kerudung dan Koruptor
Posted by : Alamin Rayyiis
Kamis, 14 Juni 2012
Untuk
kesekian kalinya saya melihat beberapa headline di media massa menampilkan
beberapa terdakwa perempuan dengan kasus korupsi, dan ‘sayangnya’ mereka ketika
itu mengenakan tutup kepala dadakan/kerudung setelah sebelumnya sama sekali
tidak pernah mempunyai komitmen atau sekedar terlihat mengenakan busana
kewajiban muslimah itu.
Dan hari
ini saya melihat seorang teman membuka sebuah koran yang tampilannya adalah
Nunung Nurbaiti tersangka kasus korupsi, entah bagaimana yang bersangkutan
pernah mengenakan kerudung atau tidak, atau anggap saja Angie dan sebagainya
yang memang tidak pernah berkomitmen untuk menganakan busana muslimah tersebut.
Melihat hal itu sontak saya berekspresi dan berkata ‘Idih sebel banget deh
lihat para koruptor memakai kerudung’, ternyata ada orang sepuh yang duduk
di sampingku, mendengar ekspresi yang sarat emosi itu beliau menjawab ‘Ya
ndak apa-apa malah bagus’, J.
Yang
bersangkutan ternyata ndalil dengan nahnu nahkumu bi dhowahir, wallah
yatawalla sara`ir. Lantas apakah komentar saya di atas yang menyayangkan
tersangka koruptor memakai kerudung lantaran untuk menutupi muka mereka saja
sebagai sikap yang salah salah? Atau benar?.
Memang
seolah-olah penilaian dari komentar saya terasa menjadi polisi hati terhadap
orang yang bersangkutan. Tapi sebenarnya kalau kita juga melihat konteks yang
lengkap kita bisa mengeluarkan perbuatan-perbuatan tersebut dari sekedar
penilaian batin. Contoh, dari momen yang singkat tiba-tiba saja mereka memakai
kerudung dan ketika mereka lepas dari keroyokan wartawan mereka melepasnya
lagi, jelas hal itu mengindikasikan bahwa salah satu tujuan mereka memakai
kerudung adalah untuk menghindari diri dari wartawan (atau kepanasan ingin
menghindari dari sinar matahari, nyoba baju shoping dari duit korupsi, dan
pernahkah kita melihat INDIKASI bahwa yang dia benar-benar menjalankannya
karena tuntutan agama?) . Maka indikasi-indikasi inilah yang sering terlupa
oleh banyak orang, menganggap sesuatu yang sifatnya batin tidak bisa sama
sekali dideteksi, dengan kejelian melihat konteks seperti di atas jangan sampai
melunakan naluri kritis kita.
Kita tidak
berbicara apakah boleh dalam hukum fikih seorang koruptor memakai kerudung atau
bahkan cadar? Jangankan koruptor, kalau ada wanita tunasusila yang memakai
kerudung pun tidak ada dalil yang melarangnya, hal itu tetap dengan
indikasi-indikasi yang mengarah bahwa yang bersangkutan masih tetap menjalankan
aktifitasnya sebagai tunasusila, atau bahkan orang kafir pun ketika mereka memakai
kerudung juga dibolehkan.
Tapi kita
juga harus sadar bahwa simbol-simbol agama pun -dalam ranah sosial dan bukan
fikih- tetap melahirkan image yang dikonsumsi masyarakat banyak yang lantas
memiliki keterkaitan yang menyangkut orang lain, institusi atau agama lain.
Janganlah ketika yang bersangkutan mempunyai kasus kemudian menjelma menjadi
kupu-kupu indah, padahal dengan tingkat kesadaran yang sama yang bersangkutan
juga mengetahui dalil wajib menutup aurat. Hendaknya ia tidak berhenti di situ
saja, kalau memang dia ingin menjalankan ajaran islam, setelah dia berkerudung
seharusnya dia dengan jujur mengakui segala kesalahan, menebusnya dengan taubat
untuk dosa-dosa yang menyangkut hak Tuhan, dan berbuat kebaikan karena
kesalahan-kesalahan yang merugikan hak manusia.