- Back to Home »
- Iklan , Kolom »
- Filosofi Iklan
Posted by : Alamin Rayyiis
Selasa, 15 Mei 2012
Diawali
dari kebijakan agar industri rokok tidak membuat iklan yang memuat tayangan
langsung orang merokok/menghisap rokok, ketentuan ini mungkin didasari bahwa
penayangan orang merokok di publik merupakan sugesti terhadap publik sehingga memprovokasi
mereka secara tidak langsung untuk merokok, padahal sudah disepakati bersama
bahwa rokok merupakan virus masyarakat.
Dan justru
dari hal inilah para pebisnis rokok terpancing untuk menawarkan jajanan mereka
dengan tetap mematuhi rambu periklanan Indonesia. Entah karena rokoknya atau
karena mereka benar-benar bermental juara sehingga aturan tersebut tidak lantas
mematikan kreatifitas mereka dalam mempermak iklan industri lintingan tembakau,
dan bahkan bila memang rokok disepakati sebagai virus masyarakat maka cara
penawaran mereka pun seolah 180 derajat bertolak dari premise tersebut. Entah
filosofi apa yang mendasari mereka berlaku demikian, idza shodaqal ‘azmu
wadhohas sabilu atau when there is a will there is a way. Kemauan
keras mereka mendongkrak garis batas yang oleh kebanyakan orang dijadikan excuse
untuk jalan di tempat.
Kreatifitas iklan rokok yang ditawarkan oleh industri
pemasok pajak tersbesar ke negara ini tidak sebatas olahan grafik atau efek
video tapi juga turut mencatut beberapa statement motivatif dan filosofis sarat
dengan; sukses, cerdas, interaksi, inovasi dan nilai filosofi lainnya. Dan
sekali lagi, ini ditawarkan oleh iklan industri yang, atas nama hukum agama dan
kebijakan masyarakat madani rokok merupakan image kemubadziran, kotor, bau tak
sedap, minim produktifitas waktu dan nilai negatif lainnya. Belum lagi fakta
yang oleh dokter atau penjaja sendiri diakui bahwa rokok menyebabkan; gangguan
kehamilan, kanker, jantung, impoten atau, oleh iklan peringatan rokok di Mesir
dengan bahasa vulgar merokok dapat menyebabkan kematian, hal itu dibarengi
dengan gambar orang sekarat dengan masker oksigen yang terbaring di atas kasur.
“Yang penting happy”, siapa yang tidak ngakak dengan parodi
jin yang membuat kita terpingkal-pingkal dengan scene yang kritis dan jenaka.
Jin yang digadang membumihanguskan korupsi pun harus takluk dengan tawaran
“wani piro”-nya. “Pria punya selera” Djarum Super juga dengan apik selalu
menawarkan lintingan tembakau dengan tayangan-tayangan adventure, pemuda mana
yang tidak tertarik dengan icon kejantanan tersebut?. Atau Sampoerna Hijau,
“Nggak ada loe nggak ramai” image kesetiakawanan pun lekat dengan 3 orang
kawanan sponsor Sampoerna. Gudang Garam Surya tidak kalah elegan dengan
kalimat-kalimat motivatifnya tentang kesuksesan dan kesan eksklusif.
Salah siapa? Pengusaha rokok, konsumen rokok?. Dan kita
terlalu sering untuk mengabaikan salah diri kita sendiri dengan selalu
mengarahkan jari telunjuk kita ke orang lain.
Dalam kapasitas dan kondisi seperti inilah mari
industri-industri yang benar-benar menjajakan kemaslahatan untuk masyarakat
membangun kreatifitas dalam beriklan. Nuansa barang dagangan yang sifatnya
materil seharusnya selalu disisipi nilai-nilai moral yang mendasari kenapa
produk tersebut dijajakan ke tengah publik masyarakat kita. Bagaimana mungkin
rokok yang selama ini secara medis dan fakta publik dinilai sebagai lintingan
nikotin yang membahayakan masih menjadi simbol yang dengan bebas memberikan
kesan yang sarat nilai positif. Seharusnya industri kompetitor lainnya berkaca,
bagaimana mungkin industri mereka yang jelas-jelas menjajakan kemaslahatan bisa
kalah bersaing dalam menawarkan kemaslahatan nitu sendiri.
Bila ditarik di ranah yang lebih ekstrim, bisa jadi kategori
penjaja rokok dengan polesan iklan yang luar biasa menariknya merupakan qaulul
haqq uriida bihil bathil, retorika kebenaran yang disetir untuk kebatilan.