- Back to Home »
- Hari Raya »
- Filosofi Mudik
Posted by : Alamin Rayyiis
Senin, 09 September 2013
Lebaran
adalah momen yang tidak bisa dipisahkan dari fenomena mudik alias pulang
kampung. Mudik merupakan ritual tahunan bagi penduduk Muslim, bahkan juga
diikuti oleh beberapa kaum beragama lantaran waktu cuti yang memang diberikan
kepada semua pekerja. Saat hari-hari akhir puasa berbondong-bondong manusia
memadati jalan raya, bertolak dari tempat mereka selama ini mengais rizki
menuju tempat dimana mereka awalnya ada, kampung halaman, halaman rumah, rumah
suka cita yang membuat mereka meninggalkannya menuju kota.
Tapi
ternyata mudik atau balik kampung tidak sekedar rutinitas kosong tanpa makna,
tanpa disadari hal itu merupakan fenomena syarat makna, mustahil mereka rela
menempuh ratusan kilometer, meninggalkan tempat kerja, rela dengan potong gaji
karena cuti sekalipun kadang mereka terhibur akan adanya THR dari tempat mereka
bekerja.
Mudik
merupakan IDENTITAS seseorang tentang asal dimana dia dilahirkan, semua orang
mempunyai asal-usul, mempunyai akar, mempunyai nenek moyang, mudik adalah
ritual untuk mengenang dan mempertajam jati diri. Momen dimana ia mengenang
keberadaan beberapa tahun yang lalu, menyadari bahwa waktu telah berjalan
meninggalkan kenangan. Masa balita, anak-anak, remaja, dewasa dan entah kapan
ia akan mempunyai kenangan untuk dikenang anak cucunya. Paling tidak sementara
ini pemudik tahu dari mana ia berasal, sawah mana yang menghidupi dirinya,
sungai mana yang dulunya ia mandi sebelum berangkat ke sekolah negeri, atau
sekedar mengenang kebun tetangga yang dahulunya sering ia bajak bersaman
teman-temannya.
Balik
kampung juga merupakan PERTANGGUNGJAWABAN seseorang di tanah perantauan. Apa
dan bagaimana ia bekerja, bagaimana selama ini ia menafkahi dan menyuapi
keluarganya. Meninggalkan kampung halaman bukanlah perkara mudah dan lumrah,
dengan itu ia telah meninggalkan ayah ibu, tetangga, garapan ladang dan sawah.
Tak sedikit lahan desa terlantar karena ditinggal para pemudanya, rumah-rumah
kosong, atau perkumpulan karangtaruna yang tidak lagi ramai seperti
pendahulunya. Benarkah ia merantau untuk memperbaiki keadaan dan ekonomi atau
sekedar pelarian dari tanggungjawab dari orang-orang yang mengenalnya?
Sukses
pribadi bukanlah tujuan utama, ibarat Rasulullah ketika isra’ mi’raj, dengan
kenyamanan di sidratul muntaha beliau tidak lantas menikmati karunia itu
sendiri. Rasulullah turun menuju bumi memberikan pelajaran mengulurkan tangan
kepada umatnya untuk bersegera menuju surga yang baru saja ia singgahi. Maka
KEMBALILAH dengan kesuksesanmu, berbagilah dengan kemakmuranmu dengan penduduk
desa yang telah mendoakanmu kala ari-ari dipotong dari perut bayimu.