- Back to Home »
- Temus »
- ICW dan PPIH 2011
Posted by : Alamin Rayyiis
Jumat, 10 Februari 2012
Jarak
Kairo-Jakarta terpaut 5 jam, dengan demikian pagi di atas kasurku adalah siang
di kantoran Jakarta, saya buka Metro TV yang saat itu menawarkan program Berita
Siang, lewat koneksi liar (wireless) TP-DATA yang ketika itu sedang berbaik
hati dengan 3-4 baris menandakan koneksi yang oleh temanku disebutn dengan koneksi
dewa, cepat tak terbatas.
Di salah
satu isu yan menjadi perhatian di proram tersebut adalah tentang penyelenggaraan
haji tahun 2011. Dimana salah satu badan pengawas korupsi non-kepemerintahan mensinyalir
adanya praktek penggelembungan biaya dari tahun 2006-2011, dan penggelembungan
tersebut semakin membengkak di tahun kemarin. Lebih dari itu, beberapa
bagian/seksi juga ditengarai sebagai lumbung uang sehingg rawan terjadinya
tindak pidana korupsi.
Hal tersebut
disampaikan oleh ICW –Indonesian Corruption Watch- badan non-kepemerintahan
yang bertugas untuk mengawasi tindak pidana korupsi, berbeda dengan KPK yang
berafiliasi dengan pemerintahan resmi, ICW di dirikan tahun 1998, sejalan
dengan gelombang reformasi terbentuk. Sejatinya beerapa badan pengawas keuangan
pemerintah dari tindak korupsi, money laundry dan penggelapan uang sedari dulu
sudah terbentuk sejak era Orla.
Perwakilan ICW
setelah berkomentar seperti di atas juga menambahkan bahwa, hal-hal seperti
penggelapan uang tersebut sangat mungkin terjadi karena badan penyelenggara dan
badan pengawas terdiri dari satu institusi; Kementerian Agama. Yang dimaksud
adalah PPIH (Panitia Penyelengara Ibadah Haji) yang menurutnya, badan pengawas
dan evaluasinya hanya terdiri dari Inspektorat Jendral PHU (Penyelengara Haji
dan Umrah).
Terlepas dari
isu yang di usung, tema tentang Kementerian Agama sebagai penyelenggara Ibadah
Haji adalah perpanjangan huru-hara dari DPR Komisi VIII yan membawahi tentang
urusan keagamaan. Ali Marzuki selaku ketua DPR saat itu memang getol agar
penyelenggaraan haji dilimpahkan ke badan swasta non pemerintah. Tentunya isu-isu
di atas sudah terjawab oleh Kementerian Agama yang, saat itu saya sempat
menemani beberapa pihak yan bertanggun jawab dalam menyusun press release dari
Menteri Agama, Suryadharma Ali. Mungkin tema DPR Komisi VIII versus Kementerian
Agama akan saya bahas di ulasan lain.
Kembali ke
ICW, sejatinya klaim tentang badan pengawas dan evaluasi yang hanya dimonopoli
satu institusi adalah tidak benar. Hal tersebut bisa diketahui khalayak umum,
dari panitia penyelenggara atau jamaah haji yang secara langsung bisa menyaksikan
jalannya operasional haji selama dua setengah bulan masa bekerja, atau 3 bulan
masing-masing sebelum dan sesudah selesainya masa penyelenggaraan haji. Di sana
akan kita temukan beberapa badan pengawas dan evaluasi yang berasal dari luar
Kementerian Agama. Sebut saja KPK, BPK, BPS, DPD Pusat hingga DPR Komisi VIII,
semuanya mempunyai hak dan wewenang yang sama dengan badan pengawas dari
Kementerian Agama yang dalam hal ini diwakili oleh Itjen PHU. Mereka bisa
secara langsung mendatangi TKP, lokasi pemondokan, jenis transportasi yang
digunakan interview dengan jamaah langsung, menyebar angket dan lain
sebagainya.
Mungkin beberapa
pihak masih merasa kurang puas dengan beberapa badan pengawas dengan dalih,
institusi di atas sekalipun ada di luar Kementerian Agama, tapi masih saja
masuk dalam lingkaran Kementerian atau Badan Pemerintahan secara umum, diantara
badan di atas masih mempunyai keterkaitan dengan institusi pemerintah yang
masih menaungi masing-masing badan pengawas, seperti BPS yang masih di bawah
Kementerian Sosial, KPK yang masih dipandang negative dengan beberapa kasus
yang melanda, bahkan isu pembubaran KPK oleh Fahri Hamzah lumayan memberikan
stigma negative tentang kepuasan masyarakat atas kinerja KPK. Intinya bisa jadi
ICW dan beberapa badan non-kepemerintahan ikut ‘nimbrung’ dalam Penyelenggaraan
Haji dan Umrah.