- Back to Home »
- Demokrasi , Sejarah »
- Amien Rais dan SIPA 2007 (Islam and Democracy in Indonesia)
Posted by : Alamin Rayyiis
Kamis, 16 Februari 2012
SIPA –School of International
Public Affairs- bermarkas di Columbia, pada tanggal 7 Februari 2007 lalu
mengundang Prof. Dr. Amien Rais sebagai keynote speaker dengan tema Islam
and Democracy in Indonesia. Dialog interactive tersebut berjalan selama 1
jam 40 menit, paling tidak itu yang tertera di catatan durasi youtube.com,
terpotong beberapa belas menit oleh sambutan penanggungjawab SIPA dan
moderator. Dialog tersebut menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa mediasi
utama, tanpa terjemahan, sesi tanya jawab terbuka bagi audiens yang hadir di
ruangan ataupun yang mengikuti lewat media telekomunikasi lainnya.
Menit pertama beliau membuka
diiringi dengan joke sederhana, kontan beberapa tawa renyah dari audiens
terdengar, tanpa salam dan mukadimah layaknya khutbah keagamaan, mungkin beliau
menyesuaikan dengan keadaan, europe, mungkin beliau berpikir bila
diperdengarkan mukadimah khas arab para audiens merasa panas, hehe, tapi
sejatinya tidak masalah juga ketika seorang presenter membawakan karakter yang
seharusnya ia kenakan, yang sederhana saja. Atau mungkin beliau sudah
menyampaikan tapi diedit oleh kameramennya, wallahu a'lam, toh dalam
keadaan seperti ini hal tersebut bukan menjadi prinsip serta di sela-sela
kuliahnya nanti beliau juga membacakan ayat suci al-Quran arabic dan english
version.
Sebagai bentuk mukadimah beliau
memberikan briefing singkat tentang biografi Indonesia. Tentang bentangan luas
negeri Indonesia yang beliau analogikan dengan sejauh Jedah-Paris, memiliki 6
agama resmi, sebagai negara yang pemeluk agama terbesarnya adalah Islam,
memiliki 3 zona waktu, 220 juta penduduk, 250 etnik/suku dengan ratusan bahasa
suku, dan Indonesia memilki asas Bhineka Tunggal Ika, unity in differsity.
Sebagaimana tuntutan tema, beliau
diminta memberikan kuliah ringkas tentang Islam dan Demokrasi di Indonesia,
secara judul tertulis, tapi dalam prakteknya beliau memulai lebih dulu dengan
sejarah pemerintahan Indonesia sejak era parlemen, Orde lama dan seterusnya.
Tidak ada cerita masuknya Islam, masa penjajahan hingga pergerakan nasional. Beliau
menerangkan bahwa dulu Indonesia sempat mencoba gaya pemerintahan parlemen,
yang disayangkan dari sistem parlementer tersebut adalah sering gonta-gantinya
kabinet, mereka hanya memiliki waktu singkat untuk menjalankan roda
pemerintahan, 6 bulan, 8 bulan, masa singkat ini
mustahil untuk menghasilkan kinerja matang dan utuh bagi kesejahteraan rakyat
Indonesia.
Paling tidak itu adalah bentuk
pertama dari 4 macam sistem demokrasi yang pernah Indonesia kenal, sistem
pemerintahan Demokrasi Liberal/Parlementer sejak tahun 1945-1955. Sejak
tahun 1955 Indonesia memiliki bentuk pemilihan umum untuk Dewan Konstitusi,
dimana waktu itu kekuatan politik terwakili dalam 3 kubu utama; Nasionalis yang
menginginkan Indonesia mempertahankan asas Pancasila, Islamis yang berkeinginan
menerapkan Syariat Islam dan Komunis yang masih setia dengan ideologi
Marksis-Komunis.
Di era Soekarno dikenalkan pengistilahan Demokrasi
Terpimpin, Pak Amien juga menyinggung salah satu fenomena khas di
masyarakat ketika itu adalah diwajibkannya masyarakat Indonesia untuk
memiliki gambar Soekarno, hal yang sama ketika Irak dipimpin oleh Saddam
Husein, atau baru tahun kemarin, saya juga merasakan fenomena serupa di Arab
Saudi, dimana photo raja mereka tertempel di setiap sudut kota dibarengi tulisan
yang mengekspresikan loyalitas masyarakat terhadap Raja. Saya kira fenomena
wajib punya gambar president per-Kepala Keluarga masih saya rasakan ketika
masa-masa SD dulu, tahun pertengahan akhir 90-an.
Chaos masih terjadi di Indonesia
ketika tahun 1965 kaum Komunis dengan sadisnya merancang kudeta berdarah-darah,
untungnya kudeta berdarah tersebut bisa dihentikan dengan memakan banyak korban
di kedua belah pihak, sekalipun di buku sejarah yang pernah saya baca skenario
G 30 SPKI ini pun masih menyisakan beberapa teori konspirasi antara pihak
Komunis itu sendiri, Soeharto, Soekarno dan CIA Amerika. Setelah berhasil
meredam situasi, Soeharto memperkenalkan Demokrasi Pancasila.
Yang mana dengan anehnya menurut pak Amien, Soeharto menamakan pemerintahannya
dengan Demokrasi tapi di waktu yang sama beliau juga mengharamkan praktek
demontrasi oposisi. Sehingga di lapangan, keadaan masyarakat Indonesia dengan
mudah dijinakkan oleh 'pemerintah kuning', keluarga Cendana menjadi sakral, dan
tidak ada satu media pun yang berani mengekspose kebijakan-kebijakan
pemerintahan beliau.
Namun begitu, Pak Amien sendiri
mengakui bahwa tidak lantas seluruh capaian yang Soeharto dapat merupakan
bentuk negatif dandestruktif bagi negara, bahkan ada beberapa bentuk kemajuan
bagi bangsa Indonesia dan rakyatnya, swasembada pangan contohnya.
Sangat menarik ketika Soeharto
mampu menjaga kekuatan politiknya bercokol selama hampir 32 tahun, hingga
akhirnya pemerintahannya tumbang di reformasi Mei 1998, sedikit tentang
reformasi, Pak Amien kala itu ikut bernostalgia tentang kenangannya menjadi
'Bapak Reformasi', bagaimana tidak, seorang mahasiswa yang baru kembali dari
Chicago berani menebar benih pemberontakan terhadap presdien lewat beberapa
artikel yang ia tulis.
Panjang bercerita tentang
reformasi, akhirnya beliau sampai pada kesimpulan sidang istimewa MPR yang kala
itu beliau menjabat sebagai ketuanya. Isu penerapan syariat islam pun kembali
muncul, hingga di moment veto, dua perwakilan partai politik yang menghendaki
pergantian teks tentang penerapan syariat islam datang kepada beliau meminta
agar veto tidak dilaksanakan karena mereka yakin bahwa suara mereka tidak
seimbang dengan kubu yang menghendaki
veto.
Di isu penerapan syariat ini, Pak
Amien secara lugas menyampaikan kepada audiens bahwa isu penerapan syariat
islam di Indonesia tidak lagi menjadi ancaman demokrasi di negara mayoritas
muslim tersebut. Beliau berpegang dengan kekuatan Ormas terbesar di Indonesia,
Muhammadiyah dan NU, bahwa keduanya juga tidak mempermasalahkan bentuk pemerintahan
demokrasi sekalipun tanpa embel-embel syariat islam. So I can show you
ladies and gentlemen, that this difficult and talematic problem has been over
in my country !
Di era pemerintahan yang baru ini,
masyarakat sudah bisa melaksanakan pemilihan umum secara langsung untuk
menentukan siapa presiden mereka, di era pasca-Orde Lama inilah Indonesia
mengenal demokrasi jenis baru yang oleh Pak Amien disebut Plan Democracy atau
Demokrasi Terencana. Jenis demokrasi ini jauh dari embel-embel tambahan seperti
Pancasila ala Soeharto ataupun Demokrasi dengan loyalitas individu ala
Soekarno.
Berbicara tentang jenis demokrasi
keempat atau terakhir yang disampaikan Pak Amien, hingga saat ini masyarakat
Indonesia sekalipun sudah 7,5 tahun Indonesia dalam kehidupan sehari-hari
masyarakatnya masih minus keadilan dan kesejahteraan. Demokrasi yang sudah 4
kali gonta-ganti itu masih belum bisa menghadirkan hasil-hasil yang diharapkan.
Ya, beberapa hasil reformasi sudah ada yang kami rasakan, sekarang tidak ada
lagi tahanan politik dari ekstrim kanan ataupun kiri, dwi-fungsi ABRI sudah
dihapus, kebebasan press sudah terasa, kita sudah menerapkan desentralisasi
wilayah/otonomi daerah.
Tapi untuk masyarakat awam dan
kebanyakan penduduk Indonesia hasil signifikansi infrastruktur masih belum
tercapai. Pengangguran masih meningkat, illegal login, Indonesia
masih di peringkat ke-5 dalam hal korupsi, despite we have failed at
championship of football and badminton, at less we have achieved championship
at corruption, you know :P, seloroh beliau diiringi tawa ringan audiens.
Indonesia saat ini sangat paradox, Indonesia adalah negeri kaya tapi masyarakat
Indonesia sendiri sangat terpukul dan merugi dengan hak kepemilikan mereka,
indeks kesejahteraan masyarakat, capaian dalam pendidikan dan hal-hal semacam
itu masih sangat lemah, I think, the future of Indonesia after those period
is not so bright.
Mengenai berbagai macam kotak
pandora yang paradox tersebut Pak Amien berterus terang bahwa, the cracks of
problem selama ini Indonesia termasuk pemimpinnya telah kehilangan
kepercayaan diri untuk mengolah secara mandiri dengan apa yang dimiliki dari
SDA maupun SDM-nya.
Selama ini ada 6 komponen yang
membuat Indonesia bisa masuk dalam lubang corporatocracy, dimana kekuatan
besar jaringan tersebut menghegemoni Indonesia/dunia global dari segi
ekonomi, kekuasaan politik, sumber daya alam dan dimensi sosial lainnya. 6
komponen itu ialah; Big Corporation like Exxon mobile, Newmon, Freeport etc.
Western Government Backup or Globalitation. Military Occupation, just look at
Iraq, Afghanistan and any other countries. Mass Media, because without mass
media the three previous components can not achieve thir goal easily, because
the mass media I believe tried to change the mind of the people that the
corporatioin is nice thing and globalisation is interiting. Academician become
the intellectual prostitute to strenghten the good corporation. And last but
not least the national elite of the country wich fasilated the process of controling
of dominating even something polandering the sources.
"Tambang emas
terbesar di dunia berada di Papua, Freeport McMorren perusahaan Amerika mempunyai
100% kewenangan tentang hak oprasional untuk mengambil emas, perak dan tambang
lainnya, sejak tahun 1991-2041 dan itu tanpa ada supervisi dan pengawasan dari
lokal ataupun pemerintahan pusat. Kalau anda ke Natuna, Exxon Mobile mempunyai
check kosong untuk mengeksploitasi gas alam yang ada di Natuna untuk dilarikan
di Singapur dan dijual dari sana. Setelah satu bulan pihak Exxon mendatangi
pemerintah sembari berkata ini jatah anda, kalau anda ambil silahkan, kalau
tidak diambil ya silahkan, its quite irrational to me," ujar Pak Amien
sembari menepuk jidatnya karena heran.
Membandingkan keberadaan Indonesia
di tengah arus globalisasi Pak Amien tengah mengobservasi negeri jiran seperti,
Malaysia-Mahathir Muhammad, Tailand-Thaksin Narasiwat, Turki-Rajab Tayeb Erdogan,
orang-orang seperti mereka yang relatif sukses bisa dijadikan contoh dan
tipikal kepemerintahan untuk Indonesia. Sesekali beliau mencibir Hugho Cavez,
sekalipun ia patriot anti-Amerika tapi untuk karakter bangsa Indonesia ia masih
terlalu arogan.
Indonesia sekarang tengah di
pertengahan jalan, antara memunculkan kembali rasa percaya diri untuk mengelola
negaranya sendiri, jauh dari interfensi asing dalam bentuk politik, ekonomi
ataupun investasi serta berani mempunyai usaha yang besar dan kebersamaan as
a partner bussiness not as a boss or master.