- Back to Home »
- Pondok Oriented »
- Gontor dan Etika Organisasi
Posted by : Alamin Rayyiis
Rabu, 22 Januari 2014
Gontor merupakan pondok pembelajaran kehidupan. Bila
kehidupan itu diartikan sebagai aktifitas penunjang manusia untuk tetap eksis
sebagai individu maupun bermasyarakat, maka gontor juga mengajarkan santrinya
untuk bisa hidup mandiri maupun sebagai pelayan sosial. Dalam hal ini adalah
kecenderungan gontor yang bisa dibilang mendominasi dan bahkan mampu
menempatkan santrinya di berbagai institusi seperti LSM, pemerintah, Ormas dan
bahkan partai politik. Hal itu karena sejak dini santri gontor diajari bagaimana
mereka berorganisasi, entah dalam skala kamar, rayon, bagian bahkan pondok
secara umum.
Akan tetapi kita sebagai alumni gontor tidak lantas lupa
diri bahwa, seluk-beluk organisasi, wilayah dan anggota dalam sebuah organisasi
terkadang mempunyai perbedaan antar tempat, golongan atau objek lainnya. Tetap
dibutuhkan penyesuaian ketika kita menghadapi situasi yang komplek seperti di
atas. Wilayah pondok tidak bisa dilepaskan dari publik figur seorang kyai. Kyai
merupakan pemegang peran penting dan central dalam hampir semua keputusan dan
aturan pondok. Adanya prinsip khushushiyah kyai terkadang dipandang berbenturan
dengan atmosfer luar yang cenderung lebih bebas, artinya, ruang untuk negosiasi/rukhshoh
di masyarakat luar pondok masih terbuka lebar, tidak saklek.
Di gontor, hal-hal yang berkaitan dengan organisasi, kita
‘hanya’ DIKENALKAN dengan mentalitas, sikap dan tugas di setiap bagian. Hal itu
cukup sebagai modal awal untuk menggeluti dunia organisasi yang terdisiplinkan
dan teratur, sedangkan cakupan yang luas dari itu, seperti lobi organisasi,
network luar, pemegang kebijakan, kesemuanya berbeda dengan di dalam pondok.
Ada pengalaman menarik ketika saya mengunjungi ponok
tercinta, ada rasa kangen di sana, ingin silaturahim terhadap guru, menerima setruman-setruman
baru atau sekedar menyapa karyawan/mbo’e kantin. Tidak semua yang ke gontor di
tahun 2014 ini dilatarbelakangi unsur pragmatisme, mencari surat untuk nyaleg
atau sebagainya, naif.
Kedatangan saya ke gontor memang untuk mencari surat keterangan
mengajar. Oleh karena itu beberapa hari sebelumnya saya menelpon teman
seangkatan yang satu tahun sebelumnya dia mengabdi di bagian yang memang
mengurusi hal-hal semacam di atas. Olehnya disampaikan bahwa surat seperti itu
mudah diperoleh, bisa ditunggu karena memang tidak menyertakan tanda
tangan/izin langsung dari pimpinan pondok, artinya, ada atau tidak ada pak kyai
surat semacam itu bisa diterbitkan, simpel. Simpel memang, tetapi salah saya
adalah tidak menanyakan persyaratan teknis permintaan surat tersebut.
Hari berganti, saya putuskan di suatu hari untuk pergi ke
gontor. Saya langsung menuju gedung administrasi, menemui seorang ustadz
kemudian menanyakan apakah orang seperti saya, mengabdi satu tahun di gontor 2
bisa mendapatkan surat keterangan mengajar. Ustadz yang bersangkutan menimpali
bahwa hal itu tidak mungkin, yang paling memungkinkan adalah menerbitkan
keterangan mengabdi yang sudah diberikan ketika masa pengabdian selesai.
Sekilas saya terperanjat karena keterangan itu berbeda dengan yang saya dengar
beberapa hari lalu. Secepat itukah kebijakan berganti? Ustadz yang saya temui
itu meng-klaim bahwa surat keterangan mengajar hanya bisa didapat ketika orang
tersebut mengajar/mengabdi di gontor paling tidak dua tahun lamanya. Sementara
waktu itu saya iyakan, tidak protes.
Keterangan yang lebih otentik akan bisa saya dapat ketika
saya bertemu langsung dengan direktur kmi, ust. Masyhudi subari. Di pertemuan
itu saya berikan keterangan singkat saya dan keperluan meminta surat kterangan
mengajar. Di sela-sela pembicaraan memang beliau sempat menyesalkan beberapa
alumni yang meminta surat keterangan serupa atau yang lainnya, fungsinya untuk
nyaleg atau keperluan lain. Tidak salah memang, hanya saja disayangkan beberapa
di antaranya ada yang berbohong, entah kriteria bohongnya wallahu a’lam, karena
hal-hal detail saya kira bisa direkam oleh pondok, kemungkinan bohong itu bisa
diminimalisir. Inti dari pertemuan singkat saya dengan beliau adalah, sekalipun
saya baru mengabdi/mengajar satu tahun, saya diperbolehkan meminta SKM dari
Sekpim. Keterangan koperatif yang saya dapat barusan sangat kontras dengan
keterangan antipatif dari Sekpim atau ustadz yang saya temui pertama kali.
Saya pun kembali ke kantor Sekpim beberapa jam setelahnya
karena memang menyesuaikan waktu pelayanan yang tertulis di depan pintu. Saya
datang, saya sampaikan kepada yang bersangkutan bahwa atasan anda membolehkan
permintaan surat saya. Dia pun mengiyakan sekalipun yang saya sayangkan adalah,
kenapa tidak sedari awal dia memberitahu saya tentang beberapa atau, ada memang
persyarataan simpel tapi seharusnya diinfokan sedari awal secara detail dan
tidak terpotong-potong. Persyaratan simpel itu adalah, photo hitam putih. YBS
mengatakan agar photo di kurnia photo, hitam putih. Pesan singkat itu saya
terima mentahannya saja, karena memang ybs tidak mengatakan harus atau tidaknya
ke satu merek tersebut.
Saya pun pergi dipandu seorang teman yang menggiring
saya ke agus jaya (atau apalah, mbuyak) photo, karena ketika saya minta untuk
ke kurnia photo dia menanyakan HARUS KE SANA KAH? Atau memang bisa diwakili
tempat photo lain, karena yang penting subtansi photo itu sendiri, agus jaya
beda merek dengan arahan Sekpim. Photo hitam putih, jebret, ditunggu dan jadi.
Saya kembali ke pondok menuju kantor sekpim dan dengan
terpaksa mengendarai motor cowok yang memang secara kultur tidak dibolehkan
bagi ustadz dalam tapi dimaklumi bagi tamu. Saya coba menemui ybs tapi disuruh
menunggu, setelah ditunggu ybs tidak ada dan yang menemui ustadz lain. Saya serahkan
photo, hitam putih. Tetap ditolak dengan alasan, bajunya tidak putih. TERNYATA
memang harus hitam putih secara warna keseluruhan maupun BAJU. Intruksi photo
di kurnia photo ternyata mempunyai arti kewajiban. Sempat kecewa, dan memang
kecewa, karena wira-wiri tanpa arti. Ybs memang menyertakan ‘contoh photo’
kemudian mengatakan SEPERTI INI.
Kata ‘seperti ini’ dengan arti leterlejk yang sesungguhnya,
harus seperti ini, tanpa keterangan tambahan yang lebih detail, mengapa, karena
atau yang lainnya. Ungkapan ‘seperti ini’ secara 100% bagi saya adalah hak
orang besar, kyai, yang kemungkinan untuk beda dari intruksi atau ungkapan
seperti di atas harus dihindari. Akhirnya, proses pengambilan skm yang
seharusnya lancar, belum lancar, atau cenderung gagal, dan memang hingga hari
ini saya cenderung belum tertarik lagi untuk menanggapi permainan di atas.
Setelah itu saya
hanya ingin berbagi hikmah.
Bahwa kita dididik organisasi di pondok agar kita menjadi
administrator atau organisator yang beda dengan orang luar. Sekilas saya
melayangkan benak dan ingatan saat mengurus beberapa administrasi di instansi
pemerintahan, entah indonesia atau mesir. Unsur bertele-tele, terlalu formal, mental
robot yang kaku dan saklek sangat lekat terhadap lembaga pemerintahan kita yang
sekuler. Bayangan saya, bila ada santri tapi dia juga belajar administrasi dan
organisasi, seharusnya dia harus berbeda dengan orang luar. Harus lebih tertib,
lebih sopan, lebih welas asih, menghargai dan mentalitas kesantrian lainnya.
Gontor tidak mendidik administrator yang arogan atau saklek ala robot.